MAKLUMAT – Rentetan kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyasar siswa sekolah menyalakan alarm bahaya. Banyaknya korban menunjukkan betapa krusialnya aspek keamanan pangan. Sayangnya, banyak guru dan masyarakat awam yang masih gagap membedakan antara alergi dan keracunan makanan, apalagi memberikan pertolongan pertama yang tepat.
Merespons kondisi darurat ini, Guru Besar Mikrobiologi Klinik FK-KMK UGM, Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K)., turun tangan membeberkan perbedaan mendasar keduanya. Pemahaman ini, menurutnya, menjadi kunci agar masyarakat tidak salah langkah saat gejala muncul pada anak-anak.
Profesor Tri menjelaskan, alergi makanan memicu reaksi sistem kekebalan tubuh secara kilat setelah menyantap makanan tertentu. “Bahkan dalam jumlah kecil, makanan pemicu alergi dapat langsung menyebabkan gejala seperti biduran, pembengkakan saluran napas yang memicu asma, hingga gangguan pencernaan,” jelas Prof. Tri Wibawa seperti dilansir laman UGM, Jumat (10/10/2025).
Dalam skenario terburuk, reaksi alergi bisa berujung pada anafilaksis, sebuah kondisi fatal yang mengancam jiwa.
Sementara itu, kuman atau zat berbahaya dalam makanan menyebabkan keracunan makanan, bukan reaksi imun. Gejala yang timbul pun memiliki jeda waktu. “Keracunan makanan biasanya menimbulkan gejala seperti sakit perut, muntah, dan diare. Gejala ini muncul beberapa jam hingga beberapa hari setelah makanan terkontaminasi itu dikonsumsi,” terangnya.
Meski sebagian besar kasus keracunan bisa sembuh tanpa penanganan khusus, Tri mewanti-wanti agar tidak meremehkannya. Dalam kondisi tertentu, keracunan bisa berakibat sangat serius. Ia mencontohkan dua bakteri populer, Salmonella sp dan Escherichia coli (E. coli), yang punya cara kerja berbeda.
“Salmonella patogenik mampu menembus pertahanan asam lambung dan langsung menyerang mukosa usus. Bakteri ini memicu peradangan hebat serta melukai dinding usus,” ungkapnya. “Sedangkan beberapa jenis E. coli menghasilkan toksin Shiga yang bisa menyebabkan penyakit parah.”
Jangan Panik, Ini Pertolongan Pertama
Lalu, apa yang harus segera dilakukan jika siswa menunjukkan gejala keracunan di sekolah? Tri menekankan, muntah dan diare hebat menguras cairan dan elektrolit tubuh. Dehidrasi adalah musuh utama yang harus segera dilawan.
“Langkah paling vital dalam pertolongan pertama adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Ini untuk mencegah dehidrasi,” tegasnya.
Dosen Mikrobiologi Klinik ini menyarankan agar penderita meminum banyak air putih. Jika perlu, berikan cairan dengan suplemen elektrolit. “Apabila korban masih terus muntah, berikan minum sedikit demi sedikit tapi sering. Jika kondisinya terus memburuk, jangan tunda untuk mencari pertolongan medis,” tambahnya.
Terkait demam yang mungkin menyertai, Tri menyebut itu adalah mekanisme pertahanan alami tubuh. Suhu tubuh yang naik membantu sistem imun bekerja lebih optimal sekaligus memperlambat pertumbuhan bakteri jahat.
Untuk mencegah petaka ini terulang, Tri mendesak semua pihak mengawasi secara ketat seluruh rantai produksi makanan MBG. Mulai dari pemilihan bahan baku, proses penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi ke tangan siswa.
“Setiap tahap adalah titik kritis yang bisa menjadi pintu masuk bagi bakteri, virus, atau parasit. Karena itu, semua pihak harus menerapkan standar kebersihan secara optimal tanpa kompromi,” tegasnya.
Ia pun menyimpulkan bahwa kunci utama untuk menyukseskan program ini dan melindungi anak-anak adalah pemahaman yang benar. “Kata kuncinya tiga: jaga mutu bahan dan proses, taati standar kebersihan, dan segera bertindak tepat ketika gejala muncul,” pungkasnya.***