Berandai‑andai dengan MBG: Mimpi atau Realitas?

Berandai‑andai dengan MBG: Mimpi atau Realitas?

MAKLUMAT — Pada 6 Januari 2025 lalu, pemerintah Indonesia resmi meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif ambisius yang bertujuan menyediakan makanan bergizi bagi siswa PAUD hingga SMA, serta ibu hamil dan menyusui, sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan Indonesia menjadi negara maju, adil, dan makmur. Namun, sejak pelaksanaannya, MBG menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait keamanan pangan. Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 6.400 kasus keracunan akibat konsumsi makanan MBG hingga September 2025.

Vritta Amroini Wahyudi
Vritta Amroini Wahyudi

Sejumlah insiden keracunan massal juga dilaporkan di berbagai daerah, antara lain di Kabupaten Tasikmalaya sekitar 400 siswa mengalami mual, diare, dan pusing setelah mengonsumsi paket MBG pada April–Mei 2025; di Kota Bogor, 223 siswa dari sembilan sekolah keracunan usai menyantap paket MBG yang berisi nasi, telur, tahu, sayur, dan jeruk; di Kota Kupang, 186 siswa sakit setelah mengonsumsi paket MBG yang mencakup nasi, sayur, daging, dan buah; serta kasus terbaru di Jawa Barat (Bandung dan Sukabumi) menimpa lebih dari 1.000 siswa.

Insiden-insiden tersebut memunculkan keraguan publik: apakah program sebesar ini benar-benar siap secara operasional dan aman bagi konsumen?

Berandai-andai dengan MBG

MBG sesungguhnya sangat bisa dilaksanakan dengan prinsip sehat dan aman. Mari berandai-andai dengan skenario ideal: MBG dikelola secara profesional, ilmiah, dan partisipatif.

• Dilakukan berdasarkan data kesehatan masyarakat sebagai basis kebijakan

Bila sebelum implementasi dilakukan survei kesehatan menyeluruh terhadap murid (status gizi, penyakit, alergi, kerentanan lokal), maka MBG bisa menyumbang data nasional yang sangat berharga. Program bisa memantau secara longitudinal: bagaimana perkembangan gizi dari tahun ke tahun—ini bisa jadi “chart generasi emas”.

Baca Juga  Menyikapi Ketidakpastian Global dan Pelemahan Daya Beli; Tantangan dan Peluang Perbankan Syariah Indonesia

• Menjadi simbol kemandirian pangan dan branding daerah

Jika MBG memprioritaskan komoditas pangan lokal (sayur, ikan air tawar, umbi-umbian, hasil pertanian desa), pemerintah bisa menunjukkan ke dunia bahwa “Indonesia bertahan dan unggul dari dalam”. Dari sisi diplomasi atau soft power, ini bisa jadi contoh: “di pelosok sana, kami sudah menyajikan makanan bergizi dari petani lokal pada siswa”.

• Sinergi gizi dan kesiapan belajar

Ada korelasi antara status gizi dan kemampuan kognitif atau daya fokus belajar. Bila MBG benar-benar memberi gizi optimal (tidak sekadar “isi perut”), maka siswa bisa lebih siap menerima pembelajaran di kelas—hasil ujian, ketahanan konsentrasi, kesehatan mental, semuanya bisa menyusutkan kesenjangan prestasi antar daerah.

• Efek samping positif ekonomi lokal

Jika dapur-dapur lokal, UMKM, koperasi desa diberdayakan sebagai mitra MBG, maka dana negara bisa “berputar” di dalam ekosistem lokal—memperkuat pertanian lokal, mengurangi ketergantungan impor. Ini jika alokasi dan sistem pengadaan dirancang sedemikian rupa.

• Monitoring dan akuntabilitas transparan

Bila setiap dapur atau sarana disertai audit rutin (higienitas, sertifikasi pangan, inspeksi mendadak, pelaporan publik), maka risiko penyimpangan bisa ditekan. Teknologi (IoT untuk suhu, GPS untuk distribusi) bisa dipakai agar rantai logistik tidak melenceng.

Syarat Utama: “Andai” yang Harus Dipenuhi

Skenario ideal tersebut pastinya membutuhkan syarat. Melanjutkan perandai-andaian, maka apa saja yang harus dilakukan?

• Pelaksanaan tidak terburu-buru

MBG sejatinya program besar, tentunya program ini membutuhkan persiapan matang dan waktu khusus. Implementasi program harus dilakukan secara bertahap, dimulai dengan uji coba di beberapa daerah sebelum diperluas ke seluruh Indonesia. Hal ini untuk memastikan kesiapan dan efektivitas program.

• Pendataan dan profil konsumen dulu

Layaknya sebuah program, MBG sejatinya berprinsip pada ilmu gizi. Sebelum menyusun menu, penting untuk melakukan survei mengenai preferensi makanan, alergi, dan kondisi kesehatan siswa di masing-masing daerah. Pendekatan ini akan memastikan bahwa makanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan selera lokal.

Baca Juga  Retreat Kepala Daerah: Antara Manfaat Strategis dan Tantangan Akuntabilitas

• Menu gizi disesuaikan lokal dan konteks

Indonesia sangat luas, tentunya tiap siswa-siswi memiliki profil kesehatan yang berbeda. Namun kekayaan hayati di Indonesia, juga berpotensi memberikan kebaikan alam hasil pertanian, peternakan, serta perikanan sebagai solusi. Menu yang disajikan sangat bisa mempertimbangkan kearifan lokal dan keberagaman budaya serta pola makan masyarakat setempat. Hal ini akan meningkatkan penerimaan dan keberlanjutan program.

• Sinergi gizi dan teknologi pangan/pertanian (tekpang)

Selayaknya visi Indonesia Emas, tentunya tujuan baik ini membutuhkan kolaborasi para pakar. Kolaborasi antara ahli gizi, petani lokal, dan pelaku industri pangan sangat penting untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan pasokan bahan makanan. Penggunaan teknologi dalam pengolahan dan distribusi juga dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan pangan.

• Alokasi anggaran dan keberlanjutan finansial

Prinsipal mendasar dari semua rancangan, yaitu anggaran. Jika memang dirancang dan sangat diperhitungkan sesuai kepakaran, maka anggaran sangat perlu dipikirkan secara penuh komitmen dan amanah. Anggaran yang dialokasikan harus mencakup semua aspek, termasuk pengadaan bahan makanan, pelatihan SDM, infrastruktur, dan sistem pemantauan. Keberlanjutan finansial juga harus dipastikan agar program dapat berjalan secara kontinu.

• Standar Operasional Prosedur (SOP) catering dan pangan

Rancangan baik, pakar sudah berkolaborasi sedemikian hingga, anggaran siap, maka penting memastikan kondisi pelaksana di lapangan. Mitra katering harus memenuhi standar keamanan pangan yang ketat, termasuk sertifikasi laik sehat dan izin edar makanan.

Proses produksi dan distribusi harus diawasi secara ketat untuk mencegah kontaminasi dan memastikan kualitas makanan. Akan lebih manis lagi jika dalam pelaksanaannya, pemerintah memberi kesempatan para UMKM ataupun kantin sekolah.

Baca Juga  Pengguna Bayar Layanan Gratis dengan Data Pribadi: Komodifikasi yang Tinggi Resiko Privasi

Jika menggunakan sistem katering, perlu SOP ketat seperti standar kebersihan dapur, sertifikasi HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points; Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis),  hygiene,  serta monitoring melibatkan pengawasan luar independen. Itulah mengapa, dalam alokasi anggaran, pemerintah bisa memberdayakan kantin dengan pelatihan.

• Regulasi halal dan etika

Halal adalah bagian dari ethical law yang perlu dijaga secara komitmen oleh pemerintah. Kasus tray yang diberitakan mengandung indikasi penggunaan minyak babi snagat bisa dihindari sejak awal jika regulasi ini diterapkan dalam MBG. Itulah mengapa, unsur halal sangat perlu menjadi bagian dari aspek penting dari pelaksanaan MBG.

• Transparansi dan partisipasi masyarakat

Pemerintah yang baik tentunya akan melibatkan poin ini. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan evaluasi program. Sistem pelaporan yang transparan akan meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap program.

Dengan memenuhi semua syarat tersebut, MBG berpotensi menjadi program yang tidak hanya memberikan makanan bergizi, tetapi juga membentuk generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif. Program ini bisa menjadi alat pemberdayaan ekonomi lokal, sarana promosi pangan dan budaya daerah, serta pijakan untuk membangun kebijakan kesehatan berbasis data yang akurat.

Keberhasilan MBG bergantung pada perencanaan matang, pelaksanaan yang disiplin, pengawasan ketat, dan keterlibatan semua pihak—mulai dari pemerintah pusat, daerah, ahli gizi, petani lokal, UMKM, hingga masyarakat luas. Sebagai rakyat, kita hanya bisa berandai-andai, namun dengan komitmen dan langkah nyata, MBG dapat mewujudkan impian Indonesia Emas 2045, menjadi program yang tidak sekadar wacana, melainkan warisan positif bagi generasi mendatang.

*) Penulis: Vritta Amroini Wahyudi
Dosen Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang; Pengurus LPH-KHT Halal PWM Jatim; PhD Candidate in Biotechnology, Chulalongkorn University, Thailand

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *