MAKLUMAT — Pukul enam pagi, sebuah warung kopi sederhana di pesisir Buduran mulai ramai. Beberapa sepeda motor terparkir rapi di depannya. Para pemiliknya bukan hendak berangkat ke pabrik atau kantor layaknya kehidupan di kota Metropolitan, melainkan bersiap menyeberang sungai.
Dari dermaga kecil di samping warung, sebuah perahu kayu sudah menunggu, bergoyang pelan mengikuti arus. Di sanalah hari para guru SD Negeri Sawohan 2, Sidoarjo SMPN Satu Atap Buduran, selalu dimulai.
View this post on Instagram
Mereka berangkat subuh dan pulang menjelang siang. Di antara itu ada sungai berlumpur, angin laut, pasang surut air, serta satu keyakinan yang terus mereka pegang: anak-anak di ujung Sidoarjo tetap harus belajar.
Kisah para “laskar pelangi” ini terjadi di wilayah yang secara geografis dan ekonomi masuk dalam kawasan metropolitan Gerbangkertosusila—aglomerasi terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Bersama Surabaya, Gresik, Mojokerto, Bangkalan, dan Lamongan, Sidoarjo dikenal sebagai kawasan industri, perdagangan, dan jasa dengan konektivitas modern.
Namun di pesisir Buduran, wajah metropolitan itu seakan memudar.
Sekolah tempat para guru mengajar berada di Desa Sawohan, wilayah pesisir yang terisolasi. Akses darat nyaris tak tersedia. Sungai menjadi satu-satunya jalan. Setiap hari, para guru menempuh perjalanan 30–40 menit, bahkan bisa mencapai satu jam, dengan perahu kecil menyusuri jalur air.
Sepanjang perjalanan, pemandangan nyaris tak berubah. Hamparan mangrove dan tambak membentang sejauh mata memandang. Tak ada permukiman warga, hanya gubuk-gubuk petambak yang sesekali terlihat. Perjalanan ekstrem ini kembali viral setelah diunggah ke media sosial, menyentak perhatian publik.
Sekolah Negeri di Pinggir Sungai
Di ujung perjalanan itu berdiri SD Negeri Sawohan 2. Sekolah negeri yang berada tepat di pinggir sungai ini memiliki kondisi bangunan yang jauh dari layak. Atap ruang kelas tampak rapuh, dinding kusam, sanitasi terbatas. Dermaga sekolah rusak dan rawan membahayakan keselamatan guru maupun siswa.
Sekolah ini hanya memiliki tiga ruang kelas. Setiap ruang harus menampung dua hingga tiga tingkat kelas sekaligus. Meski serba terbatas, aktivitas belajar mengajar tetap berjalan. Jumlah siswa yang sedikit menuntut guru untuk lebih kreatif membagi perhatian dan ruang.
Foto-foto bangunan sekolah dan perjalanan para guru yang harus menyeberang sungai setiap hari menyebar luas di Instagram dan Facebook. Banyak warganet tersentak, baru menyadari bahwa di Sidoarjo—kota penyangga Surabaya—masih ada sekolah negeri dengan kondisi seperti ini.
Dari Warung Kopi ke Ruang Kelas
Salah satu guru honorer, Nuril Eka Puspitasari (29), masih mengingat jelas hari pertamanya menuju sekolah tersebut. Ia sama sekali tak membayangkan akan mengajar di wilayah terpencil.
“Saya kirim lamaran ke banyak sekolah. Tujuh bulan kemudian, kepala sekolah menghubungi dan bertanya apakah saya sanggup, karena lokasinya jauh dan harus menyeberang sungai,” ujar Nuril dikutip dari Kompas.id edisi 25 November 2025.
Ia terkejut ketika diminta bertemu di sebuah warung kopi. Dari situlah ia mengetahui bahwa warung tersebut menjadi titik kumpul para guru setiap pagi sebelum menyeberang.
Setiap pukul 06.00 WIB, mereka berkumpul, memarkir sepeda motor, lalu menyeberang bersama. Usai mengajar, mereka kembali sekitar pukul 12.00 WIB, kadang lebih lama. Cuaca dan kondisi air kerap menentukan jam pulang.
Terjebak Surut dan Diterjang Rob
Alam menjadi tantangan terbesar. Saat air laut surut, perahu kerap kandas. Nuril dan rekan-rekannya pernah terjebak hingga dua jam di tengah sungai, menunggu bantuan nelayan yang melintas.
Sebaliknya, saat air pasang, banjir rob merendam desa dan sekolah. Air laut naik hingga halaman, bahkan masuk ke ruang kelas.
“Kalau rob tinggi, biasanya sekolah libur. Tapi tetap kami lihat kondisi di lapangan,” kata Nuril.
Meski demikian, para guru tetap bertahan. Salah satunya bahkan telah mengabdi lebih dari 17 tahun di kawasan tersebut. Ia datang tanpa banyak tuntutan dan bertahan nyaris tanpa keluhan.
Mengajar di Ujung Air
Bagi para guru di Sawohan dan Kepetingan, mengajar bukan sekadar pekerjaan. Mereka datang dengan keyakinan bahwa pendidikan harus hadir hingga ke tempat paling jauh, sekalipun harus ditempuh lewat sungai.
“Mereka cuma ingin satu hal, anak-anak di sana tetap bisa belajar,” tulis akun Instagram @ysnfdhlh yang sering mengangkat kisah ini ke layar media sosial.
Warganet pun bereaksi. Banyak yang menjuluki mereka “Laskar Pelangi Sidoarjo”. Doa dan dukungan mengalir deras di kolom komentar penuh empati dan kekaguman. “Aku sudah umur 29 tahun, baru tahu ada guru di Sidoarjo berangkat mengajar naik perahu,” tulis salah satu netizen di kolom komentar.