MAKLUMAT — Pupus sudah harapan pecinta sepak bola Indonesia untuk menyaksikan skuad Garuda berlaga di Piala Dunia 2026. Timnas Indonesia menelan dua kekalahan beruntun di putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Anak asuh Patrick Kluivert kalah dari Arab Saudi dan Irak. Timnas tak berdaya menghadapi dua tim asal Timur Tengah tersebut.
Jay Idzes dkk harus mengakui keunggulan Irak dalam laga di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Ahad (12/10/2025) dini hari WIB. Timnas Indonesia kalah dengan skor 0-1. Pemain Irak, Zidane Iqbal, mencetak gol kemenangan lewat tembakan mendatar ke pojok gawang Indonesia pada menit ke-76. Gol itu tak mampu dibalas oleh skuad Garuda hingga peluit panjang berbunyi. Kekalahan dari Irak memupus peluang Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026.

Sebelumnya, pada laga perdana di stadion yang sama, Kamis (9/10/2025), Timnas Garuda juga kalah 2-3 dari Arab Saudi. Dua kekalahan beruntun itu menempatkan Indonesia di posisi juru kunci Grup B putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Mimpi ratusan juta warga Indonesia untuk menyaksikan timnas tampil di Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada pun sirna. Patrick Kluivert gagal membawa Garuda terbang tinggi menuju Piala Dunia 2026.
Secara materi pemain, timnas Indonesia di era Kluivert sebenarnya lebih mentereng dibandingkan era Shin Tae-yong (STY), pelatih yang PSSI pecat di tengah jalan. Empat pemain diaspora tambahan bergabung, yakni Ole Romeny, Dean James, Miliano Jonathans, dan Mauro Zilstra.
Namun, tim racikan legenda sepak bola Belanda itu justru tampil loyo di babak keempat kualifikasi. Kluivert gagal memaksimalkan potensi pemain yang ada dan tidak mampu mempersembahkan satu pun kemenangan. Timnas pun menjadi juru kunci dengan nol poin.
Eksperimen yang Berujung Gagal
Keputusan Kluivert mengubah pakem permainan menjadi sorotan utama. Ia memaksakan filosofi total football ala Belanda dengan formasi empat bek dan gaya bermain menyerang. Filosofi itu ternyata tidak berjalan baik. Timnas kalah di dua laga krusial.
Pendekatan itu kontras dengan gaya Shin Tae-yong yang lebih adaptif terhadap kekuatan lawan. Di era STY, timnas tampil disiplin dengan tiga bek, mengandalkan pressing ketat dan serangan balik cepat. Gaya tersebut terbukti efektif menghadapi tim-tim kuat Asia.
Kluivert juga tidak memanggil beberapa pemain penting seperti Marselino Ferdinan dan Ivar Jenner, dua pemain yang menjadi motor permainan era STY. Ia justru memilih nama-nama berpengalaman di liga domestik seperti Marc Klok, Beckham Putra, dan Stefano Lilipaly.
Keputusan itu berbuah petaka. Indonesia tampil tanpa agresivitas, perubahan pemain terlambat dilakukan, dan sejumlah pemain yang diturunkan tampil di bawah performa terbaik. Akibatnya, Garuda gagal bersaing dan harus menutup perjalanan dengan hasil mengecewakan. Pulang dengan kepala tertunduk.
Perjudian Gagal PSSI
Langkah PSSI mengganti Shin Tae-yong di tengah jalannya kualifikasi Piala Dunia 2026 menjadi titik balik yang disorot banyak pihak. Keputusan itu dinilai sebagai langkah berisiko tinggi yang justru berujung pada hasil buruk.
Sebelum diberhentikan, STY sedang membawa timnas dalam tren positif. Ia mencatat kemenangan bersejarah 2-0 atas Arab Saudi di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, dan membawa Indonesia menempati posisi ketiga klasemen sementara. Peluang lolos otomatis ke Piala Dunia pun masih terbuka.
Selain itu, STY juga menorehkan sejumlah prestasi penting. Ia berhasil membawa Indonesia tampil di Piala Asia 2023 di Qatar dan mengukir sejarah dengan lolos ke fase gugur. Walaupun belum mempersembahkan gelar bergengsi, kiprahnya dinilai mampu mengangkat kembali semangat dan reputasi sepak bola nasional.
Sebaliknya, Patrick Kluivert datang tanpa rekam jejak signifikan sebagai pelatih kepala. Ia belum pernah membawa tim mana pun lolos ke Piala Dunia. Bandingkan dengan STY yang pernah memimpin Korea Selatan mengalahkan Jerman pada ajang Piala Dunia 2018.
Kegagalan lolos ke Piala Dunia 2026 pun menjadi cermin keputusan yang keliru. PSSI perlu mengakui bahwa pergantian pelatih di tengah jalan adalah langkah yang tidak tepat.
PSSI Harus Tanggung Jawab
Kegagalan ini bukan kesalahan para pemain yang telah berjuang maksimal. Kegagalan ini lahir dari keputusan PSSI yang tidak matang. PSSI perlu meminta maaf kepada masyarakat Indonesia dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap manajemen serta arah pembinaan sepak bola nasional.
PSSI juga harus berani mengakui bahwa kualitas kompetisi domestik belum selevel dengan negara-negara Asia lainnya. Ke depan, penentuan pemain tim nasional sebaiknya berlandaskan pada performa, bukan semata pengalaman atau popularitas.
Jangan lagi ada drama di sepakbola Indonesia. Harapan yang sama tetap hidup: melihat Garuda kembali bangkit dan benar-benar terbang tinggi di kancah dunia.(*)