24.9 C
Malang
Selasa, April 1, 2025
BPJS dan Ironi Kesehatan di Indonesia: Sakit, Langsung Miskin?

BPJS dan Ironi Kesehatan di Indonesia: Sakit, Langsung Miskin?

BPJS
Ilustrasi kartu kepesertaan BPJS. Jangan sampai fenomena sadikin–sakit mendadak miskin– terus berulang di Indonesia. Foto:Indonesia.go.id

MAKLUMAT — Seandainya ada lampu ajaib Aladin, permintaan mereka yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit pasti seragam: kesembuhan. Dalam tubuh yang ringkih, harapan akan sehat mengalahkan mimpi tentang harta atau jabatan.

Namun, di negeri ini, sehat tak selalu menjadi hak yang mudah diperoleh. Sakit bukan hanya soal menahan nyeri, tetapi juga pertempuran melawan ketidakpastian birokrasi dan ancaman finansial yang bisa mengempaskan siapa saja.

Pagi itu, di lorong IGD Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, seorang perempuan bermarga Manopo berdiri di samping suaminya yang terbaring di kursi roda. Lutut pria paruh baya itu membengkak, nyeri menjalar hingga ke punggungnya.

Dokter menyarankan pemeriksaan lebih lanjut, tetapi ada kendala—aturan BPJS mengikat ketat pasien. Tak semua bisa langsung masuk IGD. Suami Manopo hanya diberi obat pereda nyeri dan diminta menunggu. “Kami pasrah. Mau bagaimana lagi?” katanya kepada Jakartamu –media jejaring afiliasiMU– dikutip Sabtu (8/2/2025).

Kisah mereka bukan anomali. Di banyak rumah sakit, antrean panjang menjadi pemandangan rutin. Sebuah nomor antrean bisa berarti menunggu hingga berhari-hari sebelum bertemu dokter spesialis.

Prosedur yang berbelit—dari surat rujukan hingga persetujuan administrasi—sering kali memperpanjang penderitaan pasien. Dalam dunia medis, keterlambatan bisa berujung pada komplikasi yang lebih serius, bahkan kematian.

Sementara itu, bagi mereka yang bergaji UMP, tagihan medis di atas Rp10 juta bukan sekadar angka, tetapi ancaman nyata. Tak jarang, demi menyelamatkan nyawa, keluarga harus merogoh tabungan terakhir, berutang, atau menjual aset berharga. Sistem jaminan yang seharusnya menjadi benteng perlindungan malah menyeret masyarakat ke jurang kemiskinan.

Ketidakpastian dalam Penanganan Medis

Aturan BPJS menetapkan bahwa hanya kondisi gawat darurat yang dapat langsung ditangani di IGD. Namun, batasan ini sering kali multitafsir. Apakah seorang pasien dengan nyeri hebat dan risiko sepsis termasuk kondisi darurat?

Keputusan berada di tangan dokter jaga, dan jika dinilai tidak mendesak, pasien harus menunggu atau mencari alternatif lain. Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pernah mengkritik kebijakan ini. Menurutnya, BPJS bukan sekadar asuransi, melainkan jaminan sosial yang seharusnya lebih berpihak pada rakyat.

Di banyak daerah, kondisi lebih buruk. Fasilitas kesehatan terbatas, tenaga medis kewalahan, dan obat-obatan sering kali kosong. Di RSUD kabupaten, seorang ibu yang hendak melahirkan terpaksa dirujuk ke rumah sakit lain karena tak tersedia dokter kandungan. Bayi yang dikandungnya lahir dalam perjalanan dan nyawanya tak terselamatkan.

Solusi: Cukai Rokok dan Minuman Manis untuk BPJS

Saat kritik terhadap sistem kesehatan nasional semakin keras, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin justru menyarankan masyarakat melengkapi BPJS dengan asuransi swasta. Sebuah pernyataan yang seolah menegaskan bahwa jaminan kesehatan negara belum cukup untuk menopang rakyatnya.

Namun, ada solusi lain yang lebih masuk akal: optimalisasi cukai rokok dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Studi Universitas Indonesia menunjukkan bahwa menaikkan cukai rokok Rp50 saja bisa menambah pemasukan negara hingga Rp9 triliun—jumlah yang cukup untuk memperkuat layanan BPJS agar lebih responsif.

Selain itu, cukai MBDK tidak hanya menambah kas negara tetapi juga menekan konsumsi gula berlebih, yang menjadi pemicu diabetes dan obesitas. Dengan kebijakan ini, negara bisa mengurangi beban sistem kesehatan sekaligus meningkatkan dana untuk jaminan kesehatan nasional.

Jaminan kesehatan bukan sekadar layanan, tetapi hak dasar warga negara. Jika sistem ini tidak segera dibenahi, fenomena “Sadikin” (sakit mendadak jadi miskin) akan terus menghantui masyarakat kelas menengah ke bawah.

Sudah saatnya kebijakan kesehatan berpihak pada rakyat, agar tak ada lagi yang harus memilih antara berobat atau mempertahankan kehidupan ekonominya.***

Penulis:Noor Fajar Asa

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer