MAKLUMAT — Kata itu meluncur tanpa filter, tanpa naskah, tanpa tim penyunting istana. “Brengsek banget itu.” Ucapan Presiden Prabowo Subianto ini menjadi tajuk besar setelah ia menyoroti perilaku sebagian direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masih berani menagih bonus meski perusahaannya merugi.

Sebuah kalimat pendek, tapi lebih menggelegar dari seribu pidato bertema “reformasi tata kelola.” Dan belum reda gema kata itu di ruang publik, Prabowo kembali mengguncang panggung politik lewat pengakuannya yang jujur dan lugas: korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.
“Waktu saya ambil alih pemerintahan, saya makin kaget. Saya tidak menduga parahnya korupsi di negeri ini,” kata Prabowo dalam penutupan Munas VI PKS di Jakarta.
“Tapi saya bertekad, saya harus tegakkan pemerintahan yang bersih. Hanya dengan pemerintahan yang bersih, Indonesia bisa bangkit.”
Dua pernyataan ini, jika dirangkai, adalah potret dua sisi dari satu pedang. Yang satu menampar moralitas, yang lain menegakkan janji. Namun keduanya diarahkan pada penyakit lama bangsa ini: penyalahgunaan kekuasaan dan kerakusan sistemik.
Dalam dunia politik, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, ia adalah senjata. Dan Prabowo tampaknya sedang menajamkan mata pisaunya sendiri.
Kata “brengsek” yang diucapkannya bukan sekadar umpatan spontan. Itu adalah bentuk kejengkelan seorang pemimpin yang muak melihat uang rakyat dijadikan pesta pribadi oleh pejabat publik. Ia menolak menutupi kebobrokan dengan istilah “evaluasi”, “sinkronisasi”, atau “penataan manajemen.”
Kata itu menghantam langsung ke akar masalah: moralitas yang rusak dan rasa malu yang hilang.
BUMN rugi tapi bonus jalan. Utang menumpuk tapi pesta jalan. Negara jadi seperti ladang subur bagi mereka yang tak kenal batas.
Maka ketika Prabowo mengucap “brengsek”, sesungguhnya ia sedang mengucapkan kalimat rakyat yang lama tertahan di tenggorokan. Sudah cukup, hentikan semua kebrengsekan ini.
Namun amarah Prabowo bukan tanpa arah. Ia memadukannya dengan hitung-hitungan ekonomi yang tajam. Ia bicara tentang return on asset (ROA): jika aset negara bernilai 100, wajar kalau keuntungan yang dihasilkan 10 persen, atau minimal 5 persen. Dengan perhitungan itu, seharusnya negara bisa mendapatkan sekitar Rp800 triliun per tahun.
Kenyataannya? Banyak BUMN bahkan belum mencapai 3 persen. Di situlah, menurutnya, kebrengsekan itu berakar: bukan karena negara miskin, tapi karena uangnya bocor ke tangan yang salah.
Ketika Prabowo bicara soal korupsi yang “sangat memprihatinkan”, nada bicaranya berubah dari marah menjadi getir. Ia mengaku kaget saat melihat betapa dalamnya kerusakan birokrasi saat ia mengambil alih pemerintahan.
Tapi di saat yang sama, ia menegaskan tekad, menegakkan pemerintahan yang bersih, bahkan jika harus “tindak habis sampai ke akar-akarnya.”
Ia juga berjanji akan melibatkan Kejaksaan dan KPK dalam membersihkan tubuh negara. “Saya mau kirim Kejaksaan dan KPK untuk kejar-kejar itu,” ujarnya, lalu menambahkan dengan sarkasme khasnya, “nanti dibilang saya kejam lagi.”
Kalimat itu ringan, tapi berisi pesan yang berat. Keadilan tidak boleh takut pada opini, dan pemimpin tak boleh ragu disebut kejam saat melawan kebusukan.
Jika disimak lebih dalam, dua pernyataan Prabowo itu tentang BUMN yang “brengsek” dan korupsi yang “memprihatinkan”, sesungguhnya saling melengkapi. Keduanya menggambarkan semangat baru kepemimpinan yang ingin membongkar borok lama bangsa ini.
Tantangannya tentu besar. Korupsi di Indonesia bukan hanya tindakan individu, tapi ekosistem. Ia tumbuh dari kompromi, kebiasaan, dan sistem yang membiarkan. Tapi setidaknya, dengan gaya bicara yang keras dan jujur, Prabowo menegaskan bahwa ia tidak ingin berdamai dengan kejahatan itu.
Mungkin kelak, kata “brengsek” akan dikenang seperti kutipan sejarah para pemimpin besar.
Kennedy punya “Ask not what your country can do for you.” Sukarno punya “Beri aku sepuluh pemuda.” Dan Prabowo, dengan gaya khasnya, punya “Brengsek banget itu.”
Satu kata yang mewakili kemarahan rakyat, dan satu tekad yang, semoga saja, mewakili harapan bangsa: bahwa kebrengsekan itu benar-benar akan diberantas, sampai ke akar-akarnya.***