
MAKLUMAT – Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, menegaskan komitmennya untuk terus mengadvokasi masyarakat Pulau Rempang yang terdampak proyek Rempang Eco City. Ia menyoroti potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam proyek tersebut dan menyebutnya sebagai ancaman terhadap keberadaan etnis Melayu.
Meskipun Rempang Eco City telah dicabut dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), proyek ini masih tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa proyek tersebut tetap akan berjalan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat setempat.
Advokasi Muhammadiyah untuk Rempang
Dalam diskusi daring bertajuk Kebijakan di Tanah Rempang untuk Siapa? yang diadakan oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik pada Kamis (27/3/2025), Busyro menegaskan bahwa Muhammadiyah telah mengirimkan tim advokasi untuk mengawal kasus ini hingga ke pengadilan.
“Kami di PP Muhammadiyah telah melakukan berbagai kajian langsung dan advokasi, tidak hanya di Rempang, tetapi juga di berbagai wilayah lain seperti Pantai Indah Kapuk 2, Pakel Banyuwangi, dan Wadas. Sayangnya, banyak masyarakat yang menjadi korban kebijakan yang tidak adil,” ujar Busyro, dilansir jaringan media afiliasi JakartaMu.
PP Muhammadiyah, kata dia, telah menyusun buku analisis kebijakan terkait proyek di Rempang dan mempertanyakan apakah proyek tersebut telah melalui kajian dampak lingkungan dan sosial yang memadai. Menurut Busyro, dari hampir 240 PSN di Indonesia, masih sedikit yang benar-benar mempertimbangkan kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
“Kami juga pernah mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Ibu Kota Negara di Mahkamah Konstitusi, tetapi ditolak. Ini menunjukkan bahwa banyak kebijakan besar diambil tanpa memperhitungkan hak rakyat kecil,” jelasnya.
Kekhawatiran atas Penggusuran Paksa
Lebih lanjut, Busyro juga menyoroti pola yang berulang dalam proyek-proyek pembangunan di Indonesia, di mana warga dipaksa menyerahkan tanah mereka dengan kompensasi yang tidak adil. Ia mencontohkan kasus di Wadas, di mana seorang warga yang sedang sakit dipaksa menandatangani pelepasan hak atas tanahnya oleh aparat negara.
“Kami melihat pola yang sama di berbagai daerah, termasuk di Wadas, di mana warga diberi kompensasi yang disebut ‘ganti untung’, padahal sebenarnya adalah ganti rugi. Warga yang menolak dipaksa atau diadu domba dengan keluarganya sendiri,” katanya.
Tak hanya itu, Busyro juga mengaku khawatir terkait potensi adanya upaya pembersihan etnis Melayu secara sistematis di Rempang. Menurutnya, masyarakat Melayu di Pulau Rempang telah menetap di wilayah itu selama ratusan tahun dan memiliki bukti kepemilikan tanah, namun tetap dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka.
“Jika ini benar-benar terjadi, maka ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Kami akan terus melakukan advokasi untuk masyarakat Rempang. Ini bukan hanya tanggung jawab kemanusiaan, tetapi juga tanggung jawab sejarah,” tegas Busyro.
Dukungan Akademisi dan Aktivis
Selain Busyro, kekhawatiran terhadap proyek Rempang Eco City juga disampaikan oleh berbagai aktivis dan akademisi. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dalam wawancara pada awal Maret 2025, menilai bahwa kasus Rempang adalah bagian dari pola kebijakan pembangunan yang lebih luas di Indonesia.
“Ini bukan hanya soal penggusuran, tetapi bagaimana kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini etnis Melayu, dipinggirkan dari tanah leluhur mereka sendiri. Jika tidak ada kebijakan perlindungan yang jelas, maka ini bisa menjadi preseden buruk bagi daerah lain,” ujarnya.
Senada, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Ahmad Maruf, dalam seminar Hak Masyarakat Adat dan Tantangan Pembangunan di Yogyakarta pada Februari 2025 lalu, juga menegaskan bahwa relokasi paksa tanpa persetujuan masyarakat yang terdampak bisa melanggar hukum internasional.
“Konvensi internasional tentang hak masyarakat adat jelas mengatur bahwa mereka harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan diberikan hak untuk menyatakan persetujuan atau penolakan secara bebas, berdasarkan informasi yang lengkap,” jelas Dr Maruf.
Hingga kini, pemerintah pusat dan daerah belum memberikan respons yang memuaskan terkait masa depan masyarakat Rempang. Muhammadiyah menuntut transparansi dalam kebijakan ini dan memastikan bahwa suara warga benar-benar diperhitungkan dalam setiap keputusan.
“Kami ingin mendengar langsung dari masyarakat Rempang agar dapat menentukan langkah advokasi selanjutnya. Pemerintah harus jujur dan transparan. Jika proyek ini tetap berjalan tanpa mempertimbangkan nasib warga, maka apa bedanya dengan pengusiran paksa?” pungkas Busyro.