PN Sumenep Vonis Kebiri Kimia Kiai Asal Arjasa, Begini Tahap Pelaksanaannya

PN Sumenep Vonis Kebiri Kimia Kiai Asal Arjasa, Begini Tahap Pelaksanaannya

MAKLUMAT – Vonis kebiri kimia yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Sumenep terhadap seorang kiai asal Kecamatan Arjasa, Kabupaten Sumenep, menjadi perhatian publik. Hukuman tambahan ini bukan sekadar bentuk pemidanaan, melainkan bagian dari upaya negara mencegah kejahatan seksual terhadap anak terulang kembali.

Terpidana berinisial M. Sahnan (51), ustaz sekaligus ketua yayasan pondok pesantren, seperti dilansir Detik Jatim, terbukti memperkosa dan mencabuli delapan santri di bawah pengasuhannya, Rabu (10/12/2025). Selain dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp5 miliar, majelis hakim juga memerintahkan pelaksanaan kebiri kimia serta pemasangan alat pendeteksi elektronik selama dua tahun. Lalu, bagaimana sebenarnya kebiri kimia itu dilaksanakan?

Dilakukan Setelah Masa Penjara Berakhir

Diolah dari berbagai sumber, kebiri kimia tidak dijalankan saat terpidana masih mendekam di balik jeruji. Tindakan ini baru dilakukan setelah terpidana menyelesaikan pidana pokoknya.

Sebelum eksekusi, terpidana wajib menjalani tahap pra-eksekusi, berupa pemeriksaan medis dan psikologis secara menyeluruh. Pemeriksaan ini mencakup kondisi fisik, kesehatan mental, perilaku seksual menyimpang, hingga tingkat risiko pengulangan kejahatan (residivisme).

Asesmen dilakukan oleh tim profesional yang terdiri dari dokter spesialis forensik, psikiater, psikolog klinis, serta tenaga medis lain yang ditunjuk negara. Dari hasil asesmen inilah ditentukan apakah terpidana layak menjalani kebiri kimia secara medis dan mental.

Dilaksanakan di Rumah Sakit Pemerintah

Jika dinyatakan layak, kebiri kimia dilakukan di rumah sakit milik pemerintah, bukan di lembaga pemasyarakatan. Prosesnya dipimpin dokter spesialis endokrinologi, dengan pendampingan psikiater dan tenaga medis lain sesuai kebutuhan.

Baca Juga  Baleg DPR RI Desak Reformasi Total UU Guru dan Dosen: Perlindungan Profesi Guru dari Kriminalisasi Harus Tegas!

Tindakan kebiri kimia dilakukan dengan cara pemberian zat anti-androgen, yakni obat yang berfungsi menekan produksi hormon testosteron dalam tubuh. Obat yang umum digunakan antara lain Cyproterone Acetate atau Leuprolide.

Pemberian zat kimia ini umumnya dilakukan melalui suntikan, dengan dosis dan jadwal yang diatur secara ketat oleh dokter berdasarkan putusan pengadilan. Di Indonesia, masa kebiri kimia dibatasi maksimal dua tahun.

Penurunan kadar testosteron bertujuan mengurangi hasrat seksual dan kemampuan ereksi, sehingga menekan potensi pelaku mengulangi kejahatan serupa.

Diiringi Rehabilitasi dan Pengawasan Ketat

Selama masa kebiri kimia, terpidana tidak dilepas begitu saja. Negara mewajibkan rehabilitasi medis dan sosial untuk menangani penyimpangan perilaku seksual serta mempersiapkan reintegrasi sosial secara terbatas.

Dalam kasus di Sumenep, kebiri kimia juga disertai pemasangan alat pendeteksi elektronik. Alat ini berfungsi memantau pergerakan terpidana dan mencegahnya mendekati anak-anak, korban, atau lokasi tertentu seperti sekolah, pesantren, dan tempat ibadah.

Jika terpidana melanggar batasan wilayah atau mendekati zona terlarang, sistem pemantauan akan memberikan peringatan kepada aparat berwenang.

Pemerintah menegaskan kebiri kimia adalah tindakan medis yang hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang ditunjuk negara. Prosedur ini tidak dapat dilakukan oleh pihak mana pun di luar kewenangan hukum dan medis.

Majelis hakim PN Sumenep menilai kebiri kimia layak dijatuhkan karena jumlah korban lebih dari satu dan pelaku memanfaatkan posisinya sebagai figur agama. Vonis ini bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut 17 tahun penjara.

Baca Juga  Rektor UMM Tegaskan Pentingnya Sinergi dalam Penutupan Tanwir XXXIII IMM

Preseden Penting Perlindungan Anak

Putusan PN Sumenep ini dipandang sebagai preseden penting dalam penegakan hukum kekerasan seksual terhadap anak. Negara tidak lagi hanya fokus pada penghukuman, tetapi juga pada pencegahan jangka panjang.

Dengan kebiri kimia, rehabilitasi, dan pengawasan elektronik, negara berupaya menutup ruang bagi predator seksual untuk kembali memangsa korban baru—terutama ketika kejahatan itu dilakukan di ruang yang seharusnya paling aman bagi anak-anak.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan anak kini ditempatkan di atas segalanya, tanpa pandang latar belakang pelaku.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *