24 C
Malang
Rabu, Desember 4, 2024
OpiniCarok Pilkada: Fanatisme Kaum Alit, Pragmatisme Kaum Elit

Carok Pilkada: Fanatisme Kaum Alit, Pragmatisme Kaum Elit

MAKLUMAT — Video yang mempertontonkan kasus carok di Desa Ketapang Laok, Kabupaten Sampang viral di media sosial. Lazimnya video amatir, tayangan mengerikan itu pun beredar tanpa filter.

Tak hanya beredar di grup-grup whatsapp (WA), namun juga ramai menjadi tontonan dan perbincangan di facebook, tiktok, instagram dan beberapa medsos lainnya. Tragedi berdarah yang berujung terenggutnya nyawa itu pun menjadi ramai menjadi perbincangan di ruang publik.

Abdullah Sidiq Notonegoro
Penulis: Abdullah Sidiq Notonegoro, *)

Konon, aksi carok tersebut dilatarbelakangi rencana H. Slamet Junaidi (Calon Bupati Sampang nomor 2) berkunjung ke padepokan Babussalam milik Kiai Mualif.

Perselisihan diawali oleh ketersinggungan Kiai Hamduddin (saudara tua Kiai Mualif) terhadap Kiai Mualif yang tanpa minta izin kepada dirinya saat hendak menyambut kunjungan mendadak calon bupati tersebut.

Konflik terbuka dan berdarah itu memang tidak melibatkan dua kiai bersangkutan secara langsung, tetapi justru terjadi di level pengikut. Secara kultural kita tentu memahami bagaimana karakter masyarakat asli Sampang yang sangat menghormati kiai (tokoh agama).

Kiai, ulama dan guru merupakan personal yang menempati urutan kedua setelah orang tua yang harus dihormati. Di Madura ada istilah Bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato (bapak, ibu, guru/kiai/ulama, dan pemerintah) adalah pihak yang harus dihormati dan diikuti nasihatnya.

Kiai, menurut orang Madura merupakan orang tua kedua setelah orang tua kandung. Kiai adalah guru yang membimbing, mendidik, dan mengarahkan melalui proses belajar di sekolah atau pesantren.

Kultur Madura yang agamis menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sangat dibutuhkan. Keberadaan pesantren dengan sosok kiai sebagai figur utama membawa pengaruh yang sangat besar.

Pesantren sebagai tempat para santri menimba ilmu kepada kiai figur utamanya, tentu secara langsung menciptakan kecintaan dan kepatuhan yang totalitas kepada sang kiai. Mungkin bagi mereka, membela kehormatan kiai yang dijadikan panutan sebagai harga mati.

Demi harga diri (?)

Dalam buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2006) karya A. Latief Wiyata, carok berasal dari bahasa Kawi Kuno, ecacca erok-orok yang berarti dibantai atau mutilasi.

Carok biasanya terjadi, salah satunya dikarenakan tercorengnya harga diri. Masyarakat Madura memang menjunjung tinggi harga diri, karna mereka berpegang teguh pada peribahasa “katembheng pote mata ango’a poteya tolang”, artinya “daripada menanggung malu, lebih baik berkalang di tanah”. Bagi orang yang punya harga diri, tantangan carok tidak mungkin dihindari.

Mengaitkan dengan harga diri, duel carok yang melibatkan santri dari dua kiai yang berbeda juga dilatarbelakangi harga diri. Kiai Hamduddin merasa terlecehkan oleh sikap slonong boy Kiai Mualif yang hendak menerima kunjungan calon bupati tanpa memberitahu atau meminta izin kepada dirinya sebagai tokoh yang dituakan.

Disisi lain, kelompok Kiai Mualif bisa jadi merasa harga dirinya tercabik manakala kunjungan calon bupati terganggu oleh hal tersebut. Apapun motif kunjungan calon bupati, merupakan kehormatan tersendiri bagi yang dikunjungi.

Mungkin kacamata umum melihat carok sebagai cara yang tidak beradab dalam menyelesaikan persoalan. Tetapi kacamata masyarakat Madura melihat bahwa harga diri merupakan segala-galanya. Karena itu, untuk menjaganya pun bila perlu menghalalkan segala cara.

Fanatisme vs Pragmatisme

Sisi lain yang cukup menarik yaitu sikap politik masyarakat awam (alit) yang cenderung fanatisme. Fanatisme orang Madura tidak hanya diberikan kepada faham agama (Islam tradisional), tetapi juga kepada personal yang masuk kategori dihormatinya.

Kiai dan (calon) bupati merupakan diantara yang sangat dihormatinya. Karena itu, kecintaan dan kepatuhan kepada mereka merupakan harga mati, yang nyawa pun bisa untuk dijadikan taruhannya.

Pertanyaannya, bagaimana dengan para elit-nya? Mungkinkah para elit bisa bersikap fanatis untuk membela dan memperjuangkan mati-matian kepentingan masyarakat? Beranikah para elit untuk mempertaruhkan nyawa demi menjaga kehormatannya di hadapan masyarakatnya? Rasanya hanya sekedar harapan yang hampa.

Jika kita menyaksikan beberapa dekade terakhir, dominasi para elit yang lebih mengejar dan mengutamakan kepentingan pragmatis sudah bukan hal yang ditabukan. Kesenjangan antara masyarakat alit dengan para penguasa — sosial dan politik — elit kian melebar. Masyarakat alit hanyalah sebagai komoditi politik menjelang perebutan kekuasaan, yang setelahnya akan dicampakkan begitu saja.

Fanatisme kaum alit merupakan ekspresi kejujuran dan keikhlasan yang berbalut kecintaan terhadap seorang elit.

Fanatisme kaum alit tidak dipengaruhi oleh sogokan (money politics), pencitraan atau bahkan visi misi. Fanatisme cenderung tidak menggunakan pendekatan akal sehat yang umumnya cenderung pragmatis.

Pelajaran Bagi Kaum Elit

Kasus carok demi membela harga diri seorang elit haruslah menjadi pelajaran berharga bagi kaum elit itu sendiri. Kecintaan masyarakat yang totalitas ini kelak akan berbalik arah menjadi kebencian yang luar biasa, manakala sikap fanatisme mereka terkhianati setelah kekuasaan direngkuhnya.

Pilkada 2024 memang sudah selesai. Namun tragedi carok ini akan selamanya tercatat menjadi bagian dari sejarah perhelatan demokrasi di tanah Madura, khususnya di Kabupaten Sampang.

Semoga darah yang tumpah menjadi pemantik kesadaran para elit bahwa masyarakat alit bukanlah tumbal untuk kursi para penguasa.

* Penulis adalah Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer