PEMILIHAN umum (Pemilu) tahun 2024 baru selesai digelar dengan tidak menimbulkan huru-hara, konflik, dan relatif lancar. Itu mengindikasikan masih adanya harapan bagi demokrasi Indonesia di masa depan. Kelancaran proses pemilihan pada 14 Februari 2024 lalu patutlah disyukuri. Namun, pesta demokrasi lima tahunan tersebut masih memiliki banyak catatan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebutkan, salah satu catatan negatif yang perlu digaris tebal dari penyelenggaraan Pemilu di Indonesia adalah adanya mobilisasi finansial yang masih dominan. Kenyataan itu membuat demokrasi kehilangan ruh. Atau dalam istilah Mu’ti disebut ‘demokrasi zombie’.
“Demokrasi yang minus nilai, demokrasi yang orientasinya hanya menang-kalah. Atau demokrasi yang sangat berorientasi kekuasaan. Ini yang menurut saya menjadi bagian dari catatan Pemilu 2024,” ungkapnya seperti yang dikutip muhammadiyah.or.id, Rabu (21/2/2024).
Pria asal Kudus, Jawa Tengah itu menambahkan, catatan kedua dari gelaran Pemilu 2024 adalah masyarakat yang masih belum beranjak menuju demokrasi yang substantif. Di mana pertimbangan masyarakat dalam memilih masih bersifat primordial dan pragmatis.
“Saya melihat ada gejala di sebagian masyarakat vote by order. Yang sebenarnya itu sudah menjadi rahasia umum. Dan inilah yang perlu diperbaiki, sehingga demokrasi kita ke depan bisa lebih substantif dan bahkan kita bisa membangun budaya demokrasi,” tuturnya.
“Yang ada sekarang adalah Indonesia yang menerapkan demokrasi, tapi belum menjadi negara yang demokratis. Ini yang memang menjadi tantangan kita bersama-sama,” bebernya.
Meski di balik catatan itu, tegas dia, Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara yang menjalankan demokrasi berdarah-darah.
“Pemilu di Indonesia diselenggarakan dengan gembira, serta rakyat yang semakin dewasa dan terbuka dalam menerima perbedaan pilihan,” ungkapnya.
Hilangkan Pendekatan Politik Material
Lebih lanjut Mu’ti memberikan catatan lain terkait dengan bantuan sosial yang ditengarai oleh banyak pihak bertendensi politik. Menurutnya, pendekatan-pendekatan material seperti itu harus diubah dan dihindari.
Selain itu, dana-dana kampanye yang dikeluarkan oleh partai politik dan calon presiden juga harus diaudit. Sebab, dalam peraturan tertera untuk melakukan audit dana kampanye itu.
“Menurut saya yang menjadi indikator kemerosotan demokrasi itu partisipasi publik, itu juga partisipasi yang sifatnya aktif. Tapi partisipasi yang sifatnya pasif. Maksud saya partisipasi yang sifatnya aktif itu begini, orang bisa aja bukan karena dia menjadi Caleg, bukan karena dia menjadi bagian dari tim sukses, tapi dia nyumbang dana untuk kepentingan politik,” ungkap Mu’ti.
Melalui pola tersebut diharapkan partai-partai dan calon pejabat eksekutif tidak melakukan korupsi di kemudian hari. Itu karena dana kampanye yang mereka gunakan adalah milik publik, dan harus melaporkan semuanya ke publik.
“Pola tersebut juga akan membangun kompetisi yang kompetitif, kontestasi pemilu tidak hanya dimenangkan oleh calon yang kuat dalam finansial. Serta akan memunculkan sosok-sosok yang memang kompeten di bidang itu,” ujarnya.
Sementara menyinggung terkait politik dinasti pada Pemilu 2024, Abdul Mu’ti menyebut itu tidak hanya dilakukan oleh presiden saat ini, tetapi juga dilakukan oleh banyak anggota legislatif. Seorang suami yang menjabat sebagai anggota legislatif, misalnya, kemudian mengajak istri dan anaknya untuk terjun ke dunia yang sama.
“Memang hal itu bukan suatu yang salah dan menyalahi aturan, akan tetapi pada kepatutan atau masuk pada nilai etis. Nilai etis ini yang di pejabat publik Indonesia sudah tergerus, mereka tetap saja percaya diri meski tersandung kasus korupsi,” tandasnya.(*)
Editor Aan Hariyanto