MAKLUMAT – Di tengah-tengah agenda Tanwir Muhammadiyah di Kota Kupang, saya berbincang-bincang dengan Pak Trisno Raharjo (ketua MHH PP Muhammadiyah), saya kok berencana mau mengunjungi pulau di seberang yang selalu terlihat saat kami beristirahat di penginapan pinggir pantai, Hotel Kristal. Penasaran, itu pulau apa, apakah berpenghuni, dan ada apa saja di dalamnya.
Akhirnya, pada Hari Kamis, 5 Desember 2024, bertepatan dengan hari ulang tahun anak saya Aizza yang genap berusia delapan tahun, saya dan sejumlah temen (Trisno, David, Taufik, Alfian dkk) memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut.
Di sela-sela sidang, setelah makan siang, kami beserta sejumlah rombongan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) menuju Pasar Ikan Oebak untuk mencari kapal. Mira, mahasiswi semester tujuh Prodi Antropologi UMK, menjadi ketua rombongan yang mendampingi kami selama perjalanan menuju pulau tersebut. Kebetulan pulau ini merupakan bagian dari salah satu titik pengabdiannya, mendirikan Pojok Literasi.
Kami berangkat jam setengah 4 sore dengan body (sebutan kapal terbuka yang bermuatan maksimal 20 orang). Perjalanan tersebut menempuh waktu kurang lebih 30 menit-an, tergantung cuaca dan ombak, bisa lebih. Kebetulan ombak saat kami berangkat relatif stabil meski terkadang sesekali ombak menghantam kapal hingga mengakibatkan kapal miring. Kami sesekali harus berpegangan kuat, berpindah posisi, air laut masuk ke kapal. Namun semua itu masih bisa terkendali oleh awak kapal yang sudah terbiasa. Disarankan ke sana di pagi hari biar cerah.
Namanya Pulau Kera. Belum diketahui, kenapa dinamakan Kera. Terletak di Desa Uiasa, Kec. Semau, Kab. Kupang, Nusa Tenggara Timur. Luas pulau ini sekarang kurang lebih 40 km2, dari waktu ke waktu mengalami abrasi sehingga luas pulau makin mengecil. Terdiri dari dua RT dan dikepalai seorang ketua RW, namanya Pak Hamdan. Menurutnya, hampir seratus persen penduduknya Muslim. Hanya satu keluarga saja yang beragama Katolik. Selain itu, menurutnya, abrasi memakan daratan sekitar empat meter setiap tahunnya.
Setiba di bibir pantai Pulau Kera, kami disambut anak-anak kecil pulau tersebut. Ramah. Ceria. Seakan ingin akrab dengan kami. Kami berfoto-foto dengan mereka di pinggir pantai. Lalu kami lanjut ke tengah pulau bertemu dengan Pak Ahmad Rosyid, salah satu guru di pulau tersebut. Pak Hamdan, Pak Rosyid, Mira, dan anak-anak kecil penduduk lokal mengajak kami menuju sekolah.
Pulau Kera ini hanya memiliki satu sekolah saja: Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kupang Filial Pulau Kera. Di bawah naungan Kementrian Agama. MIN tersebut hanya memiliki satu bangunan berderet panjang dengan empat ruang kelas saja: satu ruang untuk kelas I dan II, ruang tengah untuk kelas III, ruang tengah satu lagi untuk kelas IV, dan ruang terakhir untuk kelas V dan VI. Ada dua ruang kelas yang masing-masing kelasnya digunakan untuk dua kelas. Bergantian, ada kelas pagi dan kelas siang. Atap sekolah terbuat dari seng. Daratan murni dari pasir. Panas? Pasti.
Tidak ada ruang guru apalagi meja guru. Tidak ada ruang administrasi. Juga tidak ada ruang untuk kepala sekolah.
“Untuk berkas-berkas sekolah ditarok di mana, Pak?”
Pak Rosyid menunjuk ke arah ruang kecil di Masjid Darul Bahari, berjarak kurang lebih 15 meter depan MIN tersebut. Guru tetap yang tinggal di sini hanya satu orang. Pak Rosyid saja tinggal di Kota Kupang, bukan di pulau ini.
Setelah lulus MIN, anak-anak bisa meneruskan ke MTs Swasta di pulau tersebut. Lokasi sekolah menggunakan gedung MIN, hanya saja statusnya di bawah yayasan yang menginduk ke pulau seberang satu lagi. Belum ada MA atau SMA, apalagi kampus. Setelah lulus MTs, anak-anak ada yang langsung bekerja, sebagian lanjut ke SMA menyebrang di Kota Kupang. Belum ada sama sekali anak asli Pulau Kera yang pernah jadi sarjana.
Meski daratan adalah pasir, sejumlah pohon bisa hidup. Di antaranya pohon bidara, pohon kelapa, pohon kelor, dan pohon waru. Setidaknya ini yang saya lihat. Tidak ada air bersih dari sumur. Air minum dan air mandi harus diambil dari daratan Kupang. Rumah pun setengah permanen, bahkan banyak yang dibuat dari kayu atau bambu. Memiliki rumah dari semen adalah hal yang mewah mengingat bahan material dan air harus dibeli dari Kota Kupang. Saat shalat Maghrib, saya berwudhu dengan air minum botol bawaan kami masing-masing. Air tawar sangat terbatas. Masjid tidak memiliki tempat wudhu dan toilet. Saat pergi buang air kecil ke toilet deket sekolah, tidak ada air, hanya memanfaatkan sisa-sia air yang ada di ember. Begitu mahalnya air bersih di pulau ini.
Di bawah rindangnya pohon bidara yang cukup besar, di antara gedung sekolah, masjid, dan ruang Pojok Literasi, sore menjelang Maghrib, kami berbincang-bincang santai tentang Pulau Kera ini. Ada kursi dan meja panjang.
Pulau ini berpenghuni masyarakat suku Bajo. Suku Bajo menempati Pulau Kera sudah sejak tahun 1911. Saat ini, sudah ada lima generasi yang tinggal di pulau ini. Pak Hamdan adalah generasi yang ketiga. Suku Bajo adalah salah satu suku yang sudah menusantara, ada di Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Bahkan sebagian suku bajo ada di Madura.
Mayoritas mata pencaharian warganya adalah nelayan, mencari ikan di laut. Sebagai pulau yang relatif tidak jauh dari Kota Kupang, ternyata pulau ini pernah menjadi sasaran pengusaha untuk mendirikan semacam resort atau eco-city sehingga pulau ini bisa menjadi kota wisata yang dapat mengundang daya tarik wisatawan untuk rekreasi di pulau ini. Dampaknya, percobaan relokasi warga pun sempat hampir terjadi. Tentu, warga lokal menolak relokasi tersebut. Bagi mereka, ini bukan soal ganti rugi. Pulau Kera sudah terdiri dari nenek moyang suku Bajo, ada sejarah di dalamnya, ada tradisi di dalamnya, ada banyak cerita dan kenangan yang sudah hidup di dalamnya.
Upaya untuk merelokasi warga terakhir kali terjadi sekitar tahun 2016. Warga setempat tetap menolak upaya tersebut. “Kami rela meski harus terjadi pertumpahan darah,” cerita Pak Hamdan. Setelah itu, tidak ada lagi hingga sekarang. Hingga kami berkunjung ke pulau tersebut, Pak Hamdan mengatakan, tidak ada lagi upaya pemerintah maupun pengusaha yang ingin merelokasi warga setempat. Tidak ada aktivis lingkungan hidup maupun LSM yang masuk ke pulau ini baik untuk pendampingan maupun advokasi warga untuk mempertahankan hidup mereka. Mempertahankan diri dari upaya relokasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha tanpa pendampingan pihak manapun, ini sungguh sebuah keberanian yang harus diacungi jempol.
Sebelum obrolan tersebut berakhir, kami sempatkan berfoto bersama dan menikmati suasana pulau jelang malam. Kami juga bagi-bagi sejumlah makanan untuk anak-anak pulau tersebut. Selepas maghrib, kami bersiap menuju kapal yang akan mengantarkan kami kembali ke Kota Kupang. Anak-anak pulau itupun dengan sukarela mengantarkan kami menuju kapal.
Terima kasih atas kisah dari anak-anak Pulau Kera. Cerita kalian menginspirasi kami.
_______________
*) Penulis: Ridho Al-Hamdi, adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah dan Wakil Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)