Dalam Politik Lokal, Muhammadiyah Perlu Banyak Belajar

Dalam Politik Lokal, Muhammadiyah Perlu Banyak Belajar

MAKLUMAT — Sebagai pengantar, tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman langsung, pengamatan dari dekat, serta keterangan dari para pelaku politik lokal di tiga daerah berbeda di Jawa Timur. Materi ini juga diperkaya dengan pengalaman pribadi penulis. Terutama saat mendampingi calon kepala daerah pada Pilkada 2024, sehingga menawarkan perspektif yang empiris dan mendalam.

Politik Lokal
Penulis: Andi Saputra, S.H, M.H

Keduanya memberikan banyak pelajaran berharga tentang bagaimana politik lokal bekerja, serta bagaimana posisi kader Muhammadiyah di dalamnya. Dari pengalaman tersebut, tampak bahwa kader Muhammadiyah masih menghadapi sejumlah tantangan dalam memainkan peran strategis di ranah politik praktis, meski secara sosial memiliki modal yang sangat kuat. Karena itu, tulisan ini berjudul “Dalam  Politik Lokal, Muhammadiyah Perlu Banyak Belajar.” Semacam ajakan untuk memahami politik tidak semata sebagai perebutan kekuasaan, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran dan penguatan peran sosial Muhammadiyah. Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dengan basis massa luas, Muhammadiyah memiliki potensi besar untuk memengaruhi arah kebijakan publik di daerah.

Namun, dalam praktiknya, banyak kader baik yang masih aktif di struktur organisasi otonom (Ortom) maupun yang sudah menjadi alumni, belum sepenuhnya memahami mekanisme politik praktis, terutama dalam membangun jejaring kekuasaan dan strategi elektoral yang efektif.

Catatan pentingnya adalah, “Membangun jejaring kekuasaan dan strategi elektoral yang efektif.” Mengapa jejaring kekuasaan? Dan mengapa elektoral yang efektif? Sebab, keduanya merupakan dua sisi mata uang dalam kerja politik praktis. Jejaring kekuasaan adalah kuasa atas akses, sementara elektoral yang efektif adalah daya tawar dalam setiap pertarungan pemilihan.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Pemilu 2024

Secara normatif, Muhammadiyah menekankan posisi sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang menjaga jarak dengan politik praktis. Sikap ini membuat sebagian kader mengalami keterbatasan dalam mengartikulasikan kepentingan politik di ruang kekuasaan. Akibatnya, kader sering kesulitan menjalin kemitraan strategis dengan aktor politik maupun birokrasi, meski secara sosial mereka memiliki pengaruh besar.

Dalam perspektif teori elite (Pareto, Mosca, Michels), keterlibatan di politik lokal menuntut kemampuan mengidentifikasi, memetakan, dan bernegosiasi dengan elite kekuasaan. Tanpa kapasitas itu, potensi sosial Muhammadiyah hanya akan menjadi “modal pasif” yang sulit terkonversi menjadi kekuatan politik riil.

Kelemahan lain yang mencolok adalah minimnya tradisi power mapping di tingkat daerah. Padahal, konfigurasi oligarki lokal, patronase, serta basis elektoral yang tersebar hingga desa sangat menentukan hasil politik. Tanpa peta aktor yang jelas, kader Muhammadiyah bisa saja terjebak dalam gerbong yang salah, atau dalam oportunisme politik sesaat dengan harga murah. Semua itu berdampak pada gagalnya memperjuangkan kepentingan umat.

Selain itu, Muhammadiyah kerap hanya mengandalkan basis moral dan pendidikan tanpa menggarap basis elektoral secara detail. Padahal, menurut resource mobilization theory, organisasi sosial akan efektif secara politik hanya jika mampu mengelola dan memanfaatkan jaringan massa dengan sistematis. Terahir, dalam politik moderen kekuatan narasi (political framing) menjadi faktor penting selain modal finansial dan struktural.

Baca Juga  Indonesia Milik Semua

Kader Muhammadiyah perlu menguasai seni membangun frame politik yang mampu menawarkan alternatif kebijakan bernilai bagi publik sekaligus memperkuat legitimasi di mata penguasa. Tanpa frame yang solid, kader berisiko hanya menjadi “penggembira” dalam arena politik. Dari refleksi tersebut, ada tiga agenda penting bagi kader Muhammadiyah di tingkat lokal:

  • Pendidikan Politik Praktis. Perlu kurikulum kaderisasi yang tidak hanya menekankan ideologi dan dakwah, tetapi juga pemahaman tentang pemetaan aktor, manajemen kampanye, dan komunikasi politik.
  • Pemetaan dan Aliansi Strategis. Diperlukan riset politik berkelanjutan untuk membaca konfigurasi kekuasaan lokal dan membangun strategi kemitraan dengan aktor politik maupun birokrasi.
  • Penguatan Basis Massa dan Framing. Jaringan sosial Muhammadiyah hingga desa perlu dikelola bukan hanya untuk dakwah dan pendidikan, tetapi juga sebagai modal politik. Sejalan dengan itu, kader perlu melatih keterampilan framing agar gagasan Muhammadiyah lebih diperhitungkan di ruang publik.

Politik lokal tidak bisa dipisahkan dari strategi, jejaring, dan kemampuan membaca arah kekuasaan. Keterlibatan kader Muhammadiyah dalam politik masih menghadapi problem klasik. Keterbatasan pemahaman politik praktis, lemahnya strategi kemitraan dengan kekuasaan, serta minimnya pemetaan basis massa dan framing ide. Padahal, secara sosial Muhammadiyah memiliki modal besar untuk tampil sebagai aktor politik signifikan.

Karena itu, diperlukan strategi baru yang lebih realistis dan praktis. Tujuannya agar kader Muhammadiyah tidak sekadar menjadi pengamat, melainkan turut menjadi pemain penting dalam proses demokrasi lokal.***

Baca Juga  Gaji DPR Melambung, Masyarakat Kian Buntung
*) Penulis: Andi Saputra, S.H, M.H
Direktur PAR Alternatif, Lembaga Riset Hukum dan Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *