Dampak Media Sosial Bisa Seret Kesadaran Politik dan Polarisasi Publik

Dampak Media Sosial Bisa Seret Kesadaran Politik dan Polarisasi Publik

MAKLUMATUniversitas Muhammadiyah Malang (UMM) terus memperkuat misinya menuju kampus internasional 2026. Kali ini, langkah itu terwujud lewat kuliah tamu internasional bertajuk Media and Social Change in Malaysia, yang digelar Program Studi Ilmu Komunikasi pada 4 Juni 2025 lalu.

Tiga dosen senior dari Universiti Teknologi MARA (UiTM) Melaka hadir sebagai pembicara. Salah satu materi utama yang mencuat dari forum ini adalah soal dampak media sosial terhadap dinamika masyarakat, khususnya di Malaysia, yang banyak bersinggungan pula dengan konteks Indonesia.

Dalam paparannya, Rosilawati binti Sultan Mohideen menekankan bahwa media sosial telah menjadi aktor penting dalam lanskap politik Malaysia. Ia menyebut media sosial berkontribusi pada meningkatnya kesadaran politik warga dan keterlibatan publik, bahkan mendesak pemerintah untuk merespons isu secara lebih cepat.

Informasi Bisa Sulut Keterlibatan Publik

Namun, ia tak menutup mata terhadap sisi gelapnya. Hoaks, polarisasi, hingga miskonsepsi atas isu-isu penting menjadi efek samping yang tak bisa dihindari. “Kita melihat bagaimana media sosial bisa menyulut keterlibatan publik, tapi sekaligus mengeruhkan ruang diskusi,” ujar Rosilawati.

Masih dalam benang merah yang sama, pembicara ketiga, Ts Hj. Mohd. Hilmi bin Bakar, mengangkat persoalan echo chamber dan filter bubble, dua fenomena yang menurutnya menggerus kebebasan berpikir secara kritis.

Ia menjelaskan bagaimana algoritma, TikTok misalnya, telah menciptakan ruang informasi yang homogen. Orang cenderung hanya terpapar pada opini yang mendukung keyakinannya sendiri, dan perlahan kehilangan akses pada perbedaan pandangan.

Baca Juga  UMM Duduki Peringkat Pertama Kampus dengan Penelitian Terbaik se-Indonesia

Bisa Tentukan Kebijakan Pemerintah

“Kadang kita merasa bebas berbicara. Tapi kebebasan yang sejati juga mencakup kemampuan untuk mendengar dan mengubah pikiran,” tegas Hilmi.

Dampak media sosial, menurutnya, telah bergeser dari sekadar alat komunikasi menjadi penentu arah diskusi publik. Peran jurnalis sebagai penjaga informasi perlahan tergeser oleh konten viral yang penuh emosi dan sensasi.

Sementara itu, Ilya Tasnorizar binti Ilyas membuka diskusi dari sudut yang berbeda, komunikasi nonverbal dalam perspektif lintas budaya. Ia menyoroti pentingnya memahami perbedaan gestur, kontak mata, hingga ruang personal antarnegara. Menurutnya, kesadaran ini dapat mencegah kesalahpahaman dan membentuk komunikasi yang lebih sehat dalam interaksi global.

Cermat dalam Memahami Isu Sosial

“Kita bisa saja salah paham hanya karena perbedaan cara tersenyum atau menjaga jarak,” ujarnya.

Kuliah tamu ini mendapat sambutan luar buasa dari ratusan mahasiswa UMM. Wakil Dekan I FISIP UMM, Najamuddin Khairur Rijal, dalam sambutannya menyampaikan harapan agar kerja sama akademik antara UMM dan UiTM Melaka tak berhenti di forum ini. Ia membuka peluang kolaborasi riset, pertukaran dosen dan mahasiswa, hingga publikasi bersama.

“Forum seperti ini menunjukkan bahwa kampus bukan hanya ruang belajar, tapi juga ruang untuk memahami dunia,” katanya.

Dalam iklim informasi yang penuh bias dan gangguan digital, diskusi lintas negara semacam ini menjadi langkah penting untuk membangun pemahaman bersama, dan pada akhirnya, masyarakat yang lebih bijak dalam menghadapi dampak media sosial.

Baca Juga  Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMM Gelar Dilation untuk Uji Publik Karya Majalah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *