MAKLUMAT — Pada suatu sore tahun 1916 di Surakarta, di halaman kediaman Kiai Haji Imam Mukhtar Bukhari, suasana begitu hidup. Di tengah lantunan ayat-ayat dan diskusi keagamaan, Kiai Haji Ahmad Dahlan mencuri perhatian. Tapi bukan hanya pengajian yang menyita pikirannya.
Saat kembali dari sana, ia terpukau menyaksikan sekumpulan pemuda berlatih baris-berbaris di halaman Mangkunegaran. Mereka adalah anggota JPO (Javansche Padvinders Organisatie), organisasi kepanduan yang cukup terkenal kala itu.
Gambaran itu membekas di benak Kiai Dahlan. Setibanya di Yogyakarta, ia membagikan kisah ini kepada murid-muridnya, Sumodirjo dan Sarbini. Dari percakapan sederhana itu, lahirlah gagasan revolusioner: memadukan kepanduan dengan nilai-nilai Islami untuk mendekatkan generasi muda kepada Allah SWT.
Tak lama, latihan baris-berbaris, olahraga, dan pertolongan pertama mulai digelar setiap Ahad sore di Kauman. Malam harinya, pengajaran agama melengkapi kegiatan ini. Inilah awal mula organisasi kepanduan Muhammadiyah, yang pada 1918 resmi berdiri dengan nama Padvinder Muhammadiyah. Pada 20 Desember 2024 ini, usia Hizbul Wathan melampaui 1 abad, tepatnya 106 tahun.
Transformasi
Langkah awal organisasi ini tak lepas dari peran tokoh-tokoh penting. Haji Mukhtar Bukhari didapuk sebagai ketua, Haji Hadjid sebagai wakil ketua, Sumodirjo menjadi sekretaris, dan Abdul Hamid bertugas sebagai bendahara.
Namun, nama “Padvinder Muhammadiyah” tak bertahan lama. Atas saran Haji Hadjid, nama itu diubah menjadi “Hizbul Wathan,” yang berarti “Pembela Tanah Air,” mencerminkan semangat Islam dan cinta tanah air.
Hizbul Wathan berkembang pesat ke berbagai wilayah di Indonesia. Kurikulumnya unik: perpaduan antara disiplin kepanduan, ajaran Islam, dan nasionalisme. Organisasi ini mencetak kader muda yang tangguh dan berkarakter Islami, siap menjadi pemimpin masa depan.
Dua Sarbini: Pilar Awal dan Pejuang Bangsa
Awal perjalanan Hizbul Wathan diwarnai oleh kehadiran dua tokoh bernama Sarbini. Seperti dimuat di laman Muhammadiyah, yang pertama adalah H.M. Sarbini, murid Kiai Ahmad Dahlan yang aktif mengajar di sekolah Muhammadiyah dan melatih baris-berbaris di Kauman.
Dengan genderang, kegiatan berkemah, dan pelatihan kuda, ia menanamkan semangat kepanduan yang khas. Sarbini kedua adalah Mohammad Sarbini Martodiharjo, seorang anggota Hizbul Wathan yang kelak menjadi tangan kanan Presiden Sukarno.
Sebelum mengenal Hizbul Wathan, ia merupakan onder-officer di militer Belanda. Setelah belajar Islam di bawah bimbingan Kiai Dahlan, Sarbini menemukan jalan hidup baru. Ia menjadi guru HIS Muhammadiyah dan anggota aktif Hizbul Wathan.
Kiprah Besar Sarbini Martodiharjo
Pendidikan di Hizbul Wathan membentuk Sarbini menjadi tokoh militer yang disegani. Selama masa pendudukan Jepang, ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) dan memimpin kompi di Gombong.
Setelah proklamasi, ia bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan memainkan peran penting dalam pertempuran Ambarawa. Karier militernya terus menanjak hingga menjadi Panglima Divisi Brawijaya dan Diponegoro.
Di era Presiden Sukarno, Sarbini menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pada 1966, meski hanya sebentar. Ia juga dikenal sebagai “Bapak Veteran Indonesia” karena pengabdiannya kepada para pejuang kemerdekaan. Nama Sarbini tetap dikenang, salah satunya melalui Balai Sarbini di Jakarta, simbol penghormatan atas dedikasinya.
Warisan
Lebih dari seabad berlalu, Hizbul Wathan tetap menjadi salah satu organisasi kepanduan tertua di Indonesia. Semangat yang ditanamkan oleh Kiai Ahmad Dahlan terus hidup, mencetak generasi muda yang mencintai agama dan tanah air.
Dari halaman Mangkunegaran hingga melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Sarbini, Hizbul Wathan adalah bukti nyata bahwa pendidikan dan kepanduan dapat bersinergi untuk membangun bangsa.
Di penghujung hidupnya, Sarbini masih mendapatkan pujian dari Sukarno. “Hanya bangsa yang tahu menghargai pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar,” ujar Sukarno.
Hizbul Wathan tetap menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa, mewariskan semangat kepanduan yang melintasi zaman.