MAKLUMAT — 25 tahun sejak reformasi bergulir, perjalanan Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan terus berlangsung. Cita-cita besar untuk melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan, dan mewujudkan keadilan sosial menjadi kompas arah pembangunan. Namun, bagaimana wujud kehadiran pemerintah dalam era reformasi yang penuh dinamika ini?
Satu hal yang pasti, transformasi besar sedang terjadi. Pemerintah tidak lagi semata-mata diposisikan sebagai pengatur dan pelayan, tetapi kini bertransformasi menjadi mitra rakyat—bekerja bersama rakyat, bukan hanya untuk rakyat. Ini bukan sekadar slogan, melainkan konsekuensi logis dari sistem demokrasi dan kompleksitas zaman yang menuntut kolaborasi lintas sektor dan aktor.
Transformasi Peran: Dari Mengatur ke Memberdayakan
Dalam ilmu administrasi publik modern, pemikiran New Public Governance (Osborne, 2006) menggantikan pendekatan lama New Public Management. Osborne menekankan bahwa sektor publik bukan hanya tentang efisiensi birokrasi, tapi tentang co-production, yakni penyelenggaraan layanan publik bersama warga. Pemerintah tidak bisa sendirian menghadapi tantangan zaman: krisis iklim, kesenjangan ekonomi, hingga transformasi digital.
Hal ini tercermin dalam tren kebijakan pemerintah yang makin terbuka terhadap partisipasi publik, desentralisasi ke daerah, serta kemitraan dengan masyarakat sipil dan sektor swasta. Pemerintah belajar bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bukan hasil kerja satu institusi, melainkan akumulasi kontribusi seluruh pelaku sistem.
Belajar dari pengalaman: Semangat Bekerja Bersama Rakyat
Pengalaman ini bukan teori belaka. Saat menjabat sebagai Bupati Bojonegoro periode 2008–2018, saya mengalami langsung bagaimana transformasi pemerintahan menuju kolaborasi nyata dapat berdampak besar. Kami mengusung semangat “Bekerja Bersama Rakyat” bukan sebagai jargon, tetapi sebagai pendekatan sistemik.
Bojonegoro terpilih sebagai salah satu dari 15 daerah pionir di dunia pada level sub-nasional dalam inisiatif Open Government Partnership (OGP) Global. Ini bukan prestasi simbolik, melainkan pengakuan atas bagaimana pemerintah daerah membuka diri: berbagi data, melibatkan masyarakat dalam perencanaan, dan transparan dalam pengelolaan sumber daya.
Pendekatan ini terbukti efektif. Dalam delapan tahun, angka kemiskinan berhasil ditekan hingga turun hampir 50%. Itu bukan semata hasil kebijakan birokratis, tetapi buah dari gotong royong lintas pelaku pembangunan—dari petani, guru, wirausaha, hingga aparat desa. Kami tidak hanya menyusun program dari kantor, tapi hadir di tengah warga, mendengar langsung, dan merumuskan solusi bersama.
Negara sebagai Entitas Produksi dan Investasi Kehidupan
Untuk benar-benar bekerja bersama rakyat, pemerintah perlu mengubah cara berpikir. Salah satu pendekatan baru yang relevan adalah melihat negara sebagai entitas produksi—sebuah ekosistem yang menghasilkan nilai. Dalam hal ini, negara harus menjaga modal dasar seperti alam, manusia, sosial, spiritual, dan infrastruktur.
Pandangan ini selaras dengan kerangka Five Capitals dari Forum for the Future (UK): natural, human, social, manufactured, dan financial capital. Kebijakan publik seharusnya menjaga kelima modal ini agar pembangunan benar-benar berkelanjutan.
Misalnya, dalam mengatasi kemiskinan, pendekatan tradisional hanya fokus pada bantuan sosial. Namun kini, pemerintah melihatnya sebagai kegagalan sistem dalam menciptakan pendapatan. Solusinya? Pendidikan yang berkualitas, kewirausahaan, dan perluasan akses pasar—bukan sekadar subsidi.
Dari ‘Money Follows Function‘ ke ‘Money Follows Mission‘
Transformasi berpikir juga terjadi dalam penganggaran. Jika dahulu paradigma umum adalah money follows function (anggaran mengikuti struktur), maka kini mulai bergeser ke money follows mission—anggaran mengikuti solusi atas masalah rakyat. Seperti dikatakan oleh Mariana Mazzucato, pakar ekonomi inovasi dari UCL, “pemerintah harus berani menjadi mission-oriented, menciptakan solusi sistemik yang tidak disediakan pasar.”
Contohnya dapat dilihat dalam Program Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar yang menyasar langsung pada akar masalah: akses pendidikan dan kesehatan. Tujuannya bukan sekadar output, tapi outcome—rakyat yang sehat, cerdas, produktif, dan bahagia secara berkelanjutan.
Menjadi Pemerintah yang Pencerah
Di masa depan, peran pemerintah akan semakin kompleks. Bukan hanya pelindung atau pelayan, tetapi juga pemberdaya, pencerah, dan penggerak. Pemerintah harus menjadi katalisator energi positif rakyat—menjadi institusi yang membangkitkan harapan, memantik kolaborasi, dan menjaga keberlanjutan.
Transformasi pemerintahan pascareformasi bukan sekadar teknis birokrasi, tapi pergeseran paradigma. Dari menguasai menjadi menggerakkan. Dari birokrasi menjadi ekosistem solusi. Dari pemegang kekuasaan menjadi mitra perubahan.
Dan inilah wajah baru pemerintahan yang kita butuhkan untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenar-benarnya: adil, lestari, dan membahagiakan seluruh rakyatnya.
Jakarta, 20 mei 2025