Demokrasi, Demonstrasi, dan Penjarahan: Cermin Retak Bangsa

Demokrasi, Demonstrasi, dan Penjarahan: Cermin Retak Bangsa

MAKLUMAT — Demokrasi selalu datang dengan janji mulia: ruang kebebasan, partisipasi rakyat, dan mekanisme damai dalam menyampaikan aspirasi. Di atas kertas, demokrasi menjanjikan bahwa suara rakyat tidak hanya terdengar, tetapi juga dihormati. Demonstrasi, sebagai salah satu ekspresi konstitusional, adalah detak jantung demokrasi itu sendiri. Tanpa demonstrasi, demokrasi hanyalah teks kosong di atas dokumen.

Namun, perjalanan bangsa kita hari-hari ini menunjukkan paradoks getir: demonstrasi yang seharusnya menjadi perayaan hak sipil, justru bergeser menjadi ruang amarah, kekerasan, bahkan penjarahan. Kita menyaksikan gedung DPRD terbakar di berbagai daerah, rumah pejabat diserbu, logistik publik dijarah. Dalam sekejap, aksi politik kehilangan wajah idealisnya, berganti wajah kerumunan oportunis.

Demokrasi dan Demonstrasi: Wujud Aspirasi

Prof. Dr. H. Triyo Supriyanto, M.Ag.
Prof. Dr. H. Triyo Supriyanto, M.Ag.

Dalam sejarah Indonesia, demonstrasi selalu punya tempat terhormat. Dari pergerakan mahasiswa 1966, reformasi 1998, hingga gelombang protes atas kebijakan kontroversial, demonstrasi telah menjadi saluran aspirasi yang efektif. Ia menyuarakan suara hati rakyat yang sering kali terpinggirkan dalam ruang parlemen.

Demonstrasi sejatinya adalah koreksi: mengingatkan kekuasaan agar tak lupa kepada rakyat yang diwakilinya. Inilah wujud demokrasi yang sehat—kritik yang keras, namun tetap dalam koridor damai, tanpa merusak nilai kemanusiaan.

Dari Aspirasi ke Anarki

Namun, garis tipis antara demonstrasi dan anarki kerap terlampaui. Saat demonstrasi berubah menjadi perusakan, pembakaran, atau penjarahan, legitimasi moralnya runtuh. Suara rakyat yang tadinya lantang dan sah, teredam oleh citra kerumunan yang hilang kendali.

Baca Juga  Hilangnya Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 dan Kisah 4 Presiden

Penjarahan dalam demonstrasi menandai hilangnya batas moral. Pada titik ini, aspirasi politik bercampur dengan kerakusan individual. Orang-orang mulai bertindak bukan karena ideologi atau tuntutan keadilan, tetapi karena kesempatan: mengambil televisi, sepeda motor, atau isi gudang yang bukan haknya. Demonstrasi yang semula idealis berubah menjadi pesta kolektif yang memalukan.

Demokrasi yang Rapuh

Fenomena ini menunjukkan rapuhnya demokrasi kita. Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh jika rakyat percaya pada institusi hukum, distribusi keadilan, dan mekanisme politik. Ketika kepercayaan itu runtuh, rakyat turun ke jalan. Dan ketika jalan itu pun gagal menjaga marwahnya, penjarahan pun jadi pilihan.

Dengan kata lain, penjarahan bukan sekadar soal moral individu, tetapi juga cermin kegagalan negara dalam mengelola krisis dan menyediakan ruang aspirasi yang bermartabat. Jika rakyat yakin bahwa suara mereka didengar, mengapa harus menjarah?

Penjarahan sebagai Krisis Kemanusiaan

Apa pun alasannya, penjarahan tetaplah perampasan hak orang lain. Ia bukan sekadar tindak pidana, melainkan kejatuhan kemanusiaan. Demokrasi menuntut kesadaran kolektif bahwa kebebasan individu tidak boleh menginjak hak orang lain. Jika penjarahan dilegalkan dengan dalih “kemarahan rakyat”, maka demokrasi sedang bunuh diri.

Kita seakan lupa bahwa demokrasi bukan hanya tentang kebebasan berteriak, tetapi juga tentang tanggung jawab menjaga martabat. Demonstrasi tanpa tanggung jawab hanya akan menghasilkan puing-puing gedung, korban jiwa, dan luka sosial yang panjang.

Baca Juga  Indonesia: antara Merdeka dan Fatamorgana

Jalan Keluar: Menjaga Demokrasi, Menolak Penjarahan

Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Pertama, negara harus memperkuat saluran demokrasi. Rakyat perlu merasa yakin bahwa aspirasi mereka tidak akan mati di jalan, melainkan sampai ke ruang keputusan. Transparansi, dialog terbuka, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial adalah kuncinya.

Kedua, demonstrasi harus dipahami sebagai tanggung jawab moral. Pemimpin aksi, mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil, wajib menjaga agar demonstrasi tetap berada di jalur konstitusional. Demonstrasi bukan ajang balas dendam, apalagi penjarahan.

Ketiga, penegakan hukum harus tegas, adil, dan manusiawi. Aparat tidak boleh membiarkan penjarahan merajalela, namun juga tak boleh menanggapi aspirasi rakyat dengan kekerasan berlebihan. Di sinilah seni demokrasi diuji: menjaga keseimbangan antara kebebasan sipil dan ketertiban umum.

Tiga wajah yang Berbeda

Demokrasi, demonstrasi, dan penjarahan adalah tiga wajah berbeda dari satu realitas sosial. Demokrasi adalah panggungnya, demonstrasi adalah ekspresinya, dan penjarahan adalah tragedinya. Jika kita gagal membedakan ketiganya, maka demokrasi akan terus diseret ke jurang anarki.

Bangsa ini harus berani bercermin: apakah kita ingin demokrasi yang sehat, di mana demonstrasi dihargai sebagai suara rakyat? Ataukah kita rela membiarkan demonstrasi berubah menjadi penjarahan, lalu meratap di atas puing-puing keadaban?

Pilihan itu ada pada kita semua—rakyat, negara, dan para pemimpin. Demokrasi hanya bisa hidup jika kita menolak menjadikan penjarahan sebagai bahasa politik. Sebab, begitu penjarahan dilegalkan, kemanusiaan kita yang akan hilang dalam jati diri bangsa.

Baca Juga  Fenomena Borong Emas Karena Cemas
*) Penulis: Prof. Dr. H. Triyo Supriyatno, M.Ag.
Wakil Rektor III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *