Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan: Dari Aspirasi ke Anarki

Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan: Dari Aspirasi ke Anarki

MAKLUMATGelombang demonstrasi yang melanda Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan keprihatinan mendalam. Di berbagai daerah, unjuk rasa yang semula bertujuan menyampaikan aspirasi rakyat terhadap kebijakan pemerintah dan wakilnya, kini berubah menjadi aksi destruktif. Bukan hanya gedung DPR/MPR yang menjadi sasaran, tetapi juga rumah pribadi anggota dewan ikut dirusak, bahkan dibakar.

Penulis: Nurkhan

Peristiwa yang menimpa rumah anggota DPR RI Ahmad Sahroni di Jakarta Utara menjadi bukti nyata bahwa garis batas antara aspirasi dan anarki telah dilanggar. Massa tidak hanya menyerbu, tetapi juga menjarah, merusak perabotan, hingga mengacak-acak mobil mewah di garasi. Tidak berhenti di situ, aset MPR di Bandung berupa rumah dinas juga dibakar massa, diduga karena dianggap sebagai lokasi persembunyian aparat.

Sementara itu, laporan Reuters menyebutkan sejumlah gedung parlemen di beberapa provinsi turut dibakar. Associated Press mencatat tiga orang tewas akibat massa membakar gedung DPRD di Sulawesi. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa unjuk rasa sudah melampaui batas kewajaran, berubah dari ruang kebebasan menjadi ladang kekerasan.

Padahal, dalam kerangka demokrasi, demonstrasi adalah hak fundamental warga negara. Konstitusi memberi ruang luas bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Akan tetapi, ketika demonstrasi melibatkan pembakaran, perusakan, dan korban jiwa, maka yang terjadi bukan lagi perlawanan politik, melainkan keruntuhan etika demokrasi.

Mengapa Aspirasi Bergeser Menjadi Anarki?

Pertama, krisis representasi. Banyak rakyat merasa suara mereka tidak lagi tersalurkan di parlemen. DPR lebih sering disorot karena skandal, lobi politik, atau kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, dibandingkan sebagai lembaga aspiratif.

Baca Juga  Wakil Presiden Gibran Usai Dipecat PDIP: “Saya dan Mas Gusma Senasib, Baru Dikeluarkan dari Partai”

Kedua, kekecewaan yang menumpuk. Setiap kebijakan yang dirasa tidak adil—mulai dari isu ekonomi, pendidikan, hingga korupsi—menjadi bara dalam sekam. Demonstrasi hanyalah pemicu yang membuat api kemarahan meledak.

Ketiga, komunikasi politik yang lemah. Wakil rakyat jarang “turun ke bawah” mendengar aspirasi konstituen, lebih sibuk di ruang rapat tertutup. Jurang ini membuat rakyat merasa jauh dari lembaga yang seharusnya mereka percayai.

Namun demikian, rakyat pun tidak bisa menghalalkan segala cara. Merusak rumah wakil rakyat atau membakar gedung parlemen hanya akan memperburuk keadaan. Bukankah biaya perbaikan akhirnya tetap ditanggung rakyat melalui pajak? Anarki mungkin memuaskan emosi sesaat, tetapi ia meninggalkan luka panjang dan ketidakpercayaan yang semakin dalam.

Etika Demokrasi: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

Sejarah mengajarkan kita bahwa demokrasi tidak pernah tumbuh subur dalam iklim kekerasan. Bung Hatta pernah mengingatkan: “Demokrasi bukan hanya hak untuk berbicara, tetapi juga kewajiban untuk menjaga ketertiban bersama.” Pesan ini menegaskan bahwa kebebasan harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab.

Gus Dur pun pernah menegaskan: “Kekuasaan itu bukan untuk menakuti rakyat, tetapi untuk mendengarkan rakyat.” Artinya, pemerintah dan DPR tidak boleh menutup telinga terhadap jeritan aspirasi. Rakyat turun ke jalan karena merasa pintu dialog tertutup. Jika komunikasi politik dibangun dengan baik, demonstrasi anarkis bisa dicegah.

Bahkan tokoh dunia Nelson Mandela mengingatkan: “Protes tanpa kekerasan adalah senjata paling kuat yang dimiliki rakyat.” Pesan Mandela ini relevan: rakyat boleh marah, boleh menuntut, tetapi jalannya harus bermartabat.

Baca Juga  LBH Jakarta Soroti Pembredelan Pameran Lukisan Yos Suprapto

Langkah Konkret Merawat Demokrasi

Agar demonstrasi kembali menjadi ruang aspirasi yang sehat, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh:

  1. Mekanisme Dialog Permanen
    DPR dan pemerintah perlu membuka kanal resmi bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, misalnya forum bulanan terbuka yang memungkinkan rakyat berdiskusi langsung dengan wakilnya.

  2. Perlindungan terhadap Aksi Damai
    Aparat harus menjamin keamanan demonstrasi damai. Jangan ada pembubaran paksa selama aksi berjalan tertib. Sebaliknya, organisasi sipil perlu ikut mengawal agar aksi tidak ditunggangi provokator.

  3. Reformasi Komunikasi Politik
    Wakil rakyat wajib lebih sering hadir di tengah masyarakat. Transparansi kebijakan dan keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan akan meredam kekecewaan.

  4. Pendidikan Demokrasi Sejak Dini
    Masyarakat perlu memahami bahwa protes bukan ajang melampiaskan amarah. Pendidikan politik sejak dini akan menanamkan kesadaran bahwa hak menyampaikan pendapat harus berjalan seiring dengan kewajiban menjaga ketertiban.

Penutup

Demonstrasi adalah denyut nadi demokrasi. Namun, ketika ia berubah menjadi anarki, justru demokrasi itulah yang terancam mati. Yang terbakar bukan hanya gedung parlemen, tetapi juga kepercayaan rakyat kepada negara. Yang hancur bukan hanya rumah seorang wakil rakyat, tetapi juga jembatan dialog antara rakyat dan pemerintah.

Kini, di persimpangan ini, kita perlu memilih: membiarkan demokrasi tergerus amarah, atau merawatnya dengan dialog, keterbukaan, dan tanggung jawab. Sebab, demokrasi tanpa etika hanya akan melahirkan tirani baru—tirani massa yang tak kalah berbahaya dibanding tirani penguasa.

Baca Juga  Pasukan Berbayar

Dan seperti kata Bung Karno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Kita pernah menumpahkan darah untuk memperjuangkan demokrasi. Jangan biarkan warisan itu hancur hanya karena kita gagal menjaga batas antara aspirasi dan anarki.

*) Penulis: Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng Gresik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *