MAKLUMAT – Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember, dr. Rita Wahyuningsih, mengungkapkan bahwa penanganan kasus ini tidak hanya terkendala pada ketersediaan vaksin, tetapi juga pada tantangan dalam pelaksanaan imunisasi di lapangan.
Menurut dr. Rita, tantangan terbesar justru datang dari sisi masyarakat.
“Kesulitannya bukan pada stok vaksin, tetapi pada penerimaan masyarakat. Banyak orang yang masih terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Kalau ada tetangganya tidak imunisasi, mereka ikut-ikutan,” jelasnya, Senin (1/9/2025).
Selain faktor meniru perilaku, keputusan imunisasi juga kerap dipengaruhi oleh keluarga besar atau tokoh masyarakat. Hal ini membuat keputusan orang tua untuk membawa anaknya imunisasi tidak sepenuhnya berdiri sendiri.
“Kadang keputusan itu bukan dari ibu, tapi dari bapak, kakek, atau tokoh yang dituakan. Jadi ada intervensi dari luar keluarga inti,” tambahnya.
Faktor lain yang memperberat adalah derasnya arus informasi di media sosial. Masyarakat lebih banyak mempercayai kabar yang belum tentu benar dibanding penjelasan tenaga kesehatan.
“Saat ini orang lebih mudah percaya informasi yang beredar di media sosial daripada tenaga kesehatan. Padahal belum tentu informasi itu benar,” ujarnya.
Dinkes Jember juga menghadapi tantangan berupa kekhawatiran masyarakat terhadap efek samping vaksin. Meski sudah dijelaskan bahwa efek samping adalah hal wajar dan ringan, ketakutan masih sering menjadi alasan penolakan imunisasi.
“Sama seperti kalau kita makan makanan manis bisa kena diabetes, vaksin juga ada efek samping. Tapi itu bisa dilawan dengan edukasi yang tepat,” tegas dr. Rita.
Ia menilai, salah satu kelemahan di Jember adalah belum adanya tokoh masyarakat yang bisa menjadi panutan atau role model dalam kampanye imunisasi.
“Kalau tenaga kesehatan yang menyampaikan, masyarakat sering menganggap itu hanya kepentingan kami. Tapi kalau ada tokoh masyarakat yang memberi contoh, mereka akan lebih percaya,” katanya.
Meski demikian, ia mengapresiasi dukungan lintas sektor, mulai dari camat, PKK, kepolisian, hingga TNI yang sudah turut serta dalam sosialisasi.
“Kolaborasi ini sangat membantu, tapi masih belum cukup untuk melawan derasnya informasi yang salah di masyarakat,” pungkasnya.
Health Specialist UNICEF Indonesia Dr. Armunanto, MPH menuturkan, imunisasi massal adalah langkah darurat untuk menekan laju penularan.
“Kami tidak ingin ada satu pun anak Jember yang kehilangan masa depan karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Kami mengajak semua orang tua membawa anak-anaknya segera ke pos imunisasi terdekat,” kata Armunanto.
Ia melanjutkan, campak adalah salah satu penyakit paling menular di dunia, tetapi sekaligus yang paling mudah dicegah.
“UNICEF bersama mitra akan terus mendukung pemerintah Kabupaten Jember dan Jawa Timur agar setiap anak mendapat perlindungan yang layak. Saat ini yang dibutuhkan adalah kolaborasi semua pihak mulai dari orang tua, guru, tokoh agama, hingga media. Sehingga tidak ada anak yang tertinggal imunisasi,” ujarnya.
UNICEF menilai keterlibatan masyarakat luas menjadi faktor penting dalam menekan laju KLB. Media juga diminta mengambil peran aktif dalam menyebarkan informasi yang benar dan menepis hoaks terkait imunisasi.
Sebagai bagian dari langkah percepatan, pemerintah daerah meluncurkan kampanye #LawanCampakJember melalui media massa, media sosial, dan jaringan komunitas. Talkshow di radio dan televisi lokal, infografis di media sosial, serta pengumuman melalui masjid, gereja, dan pengeras suara keliling digunakan untuk mengajak masyarakat.
Pemerintah menegaskan, imunisasi campak tersedia gratis, aman, dan halal di seluruh fasilitas kesehatan. Anak usia 9 bulan hingga 15 tahun yang belum lengkap imunisasinya menjadi sasaran utama.
Penolakan sebagian orang tua terhadap vaksinasi, baik karena kekhawatiran efek samping maupun isu kehalalan, membuat banyak anak tidak terlindungi dari penyakit menular berbahaya.
“Campak bukan hanya penyakit biasa. Ini bisa menimbulkan komplikasi serius, bahkan kematian, bila anak tidak terlindungi dengan imunisasi,” jelasnya.
Ia menegaskan, imunisasi merupakan hak setiap anak yang harus dipenuhi negara. “Vaksinasi bukan sekadar pilihan medis, melainkan bentuk perlindungan dasar yang melekat pada hak anak untuk sehat. Kita tidak boleh membiarkan anak kehilangan masa depan hanya karena tidak diimunisasi,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Jember telah menyiapkan 11.000 vial vaksin campak untuk disalurkan ke masyarakat. Mulai pekan ini, vaksinasi akan dilakukan secara aktif melalui posyandu, sekolah, hingga metode jemput bola ke rumah-rumah warga.
Langkah ini ditempuh untuk menjangkau anak-anak yang sebelumnya tidak pernah diimunisasi. Pemerintah daerah juga menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan edukasi agar orang tua tidak lagi takut membawa anak mereka ke layanan imunisasi.
“Penanganan ini tidak bisa hanya mengandalkan tenaga kesehatan. Perlu dukungan semua pihak, termasuk orang tua, sekolah, dan tokoh masyarakat,” jelasnya.
UNICEF, lanjutnya, mendukung upaya pemerintah daerah dalam memperluas cakupan imunisasi demi mencegah kasus serupa di masa mendatang.
UNICEF menilai, peningkatan kasus campak di Jember menjadi pengingat serius bagi semua pihak tentang rapuhnya perlindungan kesehatan anak ketika imunisasi tidak dijalankan secara optimal.
“Kasus di Jember harus menjadi momentum memperkuat kembali program imunisasi rutin. Anak-anak tidak boleh menunggu sampai sakit untuk kemudian diselamatkan. Pencegahan jauh lebih penting,” ujar Armunanto.
Ia menambahkan, keberhasilan program imunisasi bukan hanya soal ketersediaan vaksin, melainkan juga soal kepercayaan masyarakat.
Edukasi publik, kata dia, harus berjalan beriringan dengan pelayanan kesehatan agar tidak ada lagi anak yang tertinggal dari hak dasarnya.