MAKLUMAT — Suasana di Ruang Amphitheater Gedung Pascasarjana UMY, Yogyakarta, Selasa (28/10), terasa berbeda. Puluhan mahasiswa Hubungan Internasional tak lagi sekadar duduk manis mendengarkan seminar. Mereka pulang membawa “mandat” baru.
Mandat itu datang langsung dari Diplomat Ahli Madya Direktorat Informasi dan Media Kemlu RI, Margaretha Puspita. Dalam Seminar “Peran Engagement Publik dalam Diplomasi Digital Indonesia”, Margaretha menegaskan satu hal: era diplomasi kaku dan elitis sudah berakhir.
Pemerintah, kata dia, tidak lagi memandang publik—khususnya kalangan muda—sebagai objek komunikasi. Sebaliknya, anak muda kini menjadi bagian inti dari strategi diplomasi itu sendiri.
“Teman-teman dari kalangan muda bukan hanya bagian dari strategi diplomasi digital Indonesia, tetapi kalian adalah strateginya itu sendiri,” tegas Margaretha. Dia melihat potensi besar dari 20 persen populasi Indonesia yang merupakan generasi muda. Mereka memegang peran ganda: produsen sekaligus konsumen informasi.
Merekalah yang bisa mengisi ruang digital internasional dengan narasi positif tentang Indonesia. Margaretha mengibaratkan media sosial sebagai “pedang bermata dua”. Ancaman jika tanpa arah. Tapi bisa menjelma menjadi kekuatan lunak (soft power) bangsa jika dimanfaatkan secara bijak.
Karena itu, Kemlu RI kini tancap gas beradaptasi. Mereka membentuk unit khusus yang fokus pada strategi komunikasi dan pemantauan media digital. Kemlu juga meluncurkan kampanye tagar #IniDiplomasi untuk membumikan kerja diplomasi.
“Ke depan, kami akan lanjutkan dengan #GlobalIndonesia. Ini untuk membawa pesan diplomasi ke audiens global dengan melibatkan partisipasi masyarakat,” jelasnya.
Negara Tak Bisa Sendirian
Gagasan kolaborasi ini gayung bersambut. Dosen Hubungan Internasional UMY, Dr. Ratih Herningtyas, M.A., menegaskan bahwa negara memang tidak bisa lagi berjalan sendirian.
Menurutnya, diplomasi digital harus menjadi ruang kolaborasi antara negara, masyarakat, dan komunitas digital. Ruang digital ini menjadi bridging space atau jembatan penghubung. “Publik memiliki kesempatan untuk ikut membentuk narasi yang mewakili kepentingan Indonesia,” ujar Ratih.
Ia menyoroti fenomena hashtag activism (aktivisme tagar) sebagai bukti nyata kekuatan publik. Dalam banyak kasus, gerakan berbasis tagar itu bahkan mampu melampaui pengaruh komunikasi resmi pemerintah.
Ratih pun mengusulkan gagasan segar: pembentukan “Indonesia Digital Diplomacy Hub”. Sebuah wadah yang mempertemukan pemerintah, akademisi, komunitas digital, hingga diaspora Indonesia di luar negeri. “Melalui platform ini, berbagai ide, isu, dan kampanye digital dapat diintegrasikan agar selaras dengan kepentingan diplomasi nasional,” jelasnya.
Dalam hal ini, Ratih “menantang” dunia akademik untuk mengambil peran. Kampus tidak boleh hanya jadi pengamat. Kampus harus berfungsi sebagai inkubator gagasan yang mencetak digital influencers berkarakter kebangsaan. “Mahasiswa perlu disiapkan bukan hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai produsen narasi yang memperkuat posisi Indonesia,” tegasnya.
Pada akhirnya, kedua pembicara sepakat. Sinergi antara negara dan publik di ruang digital ini punya nilai strategis. Kolaborasi ini tidak hanya memperluas jangkauan komunikasi. Tapi juga memperkuat legitimasi moral negara di mata dunia. “Karena pada akhirnya, kepercayaan global lahir dari partisipasi publik yang nyata,” pungkas Ratih.***
Comments