MAKLUMAT — Feminisme merupakan cara pandang yang menginginkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Feminisme pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1848 (Hadiwinata, 2018). Feminisme yang tumbuh di Amerika Serikat mempunyai cara pandang bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama serta keinginan meningkatkan kesetaraan hak untuk perempuan. Cara pandang tersebut menjadi cara pandang dominan dalam feminisme berdasarkan tradisi budaya barat.
Akan tetapi, ketika banyak orang yang semakin menyadari isu feminisme, feminisme dalam tradisi budaya barat ini terpecah menjadi dua pandangan yakni feminisme berdasarkan budaya Anglo Saxon (Inggris) dan feminisme berdasarkan budaya Eropa daratan. Feminisme menurut tradisi Anglo Saxon lebih menitikberatkan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. Sedangkan feminisme menurut budaya Eropa daratan adalah memperjuangkan hak-hak perempuan tanpa ada keinginan menyamakan hak antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam perkembangan kajian diskursus feminisme, ada banyak jenis aliran seperti Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Ekofeminsime, Feminisme Poskolonial, Feminisme Psikoanalisis, dan lain-lain. Lantas, bagaimana feminisme menurut Islam ? Shulhan Kholidi melalui bukunya berjudul “Feminisme Dalam Tradisi Barat dan Perspektif Al Qur’an” telah membahas mengenai gagasan feminisme dalam tradisi barat sekaligus tradisi Islam serta bagaimana Al Qur’an memandang keadilan gender. Shulhan Kholidi menguraikan bahwa feminisme barat telah bergeser dari wacana gagasan membebaskan perempuan menjadi wacana gagasan yang cenderung oppressive-chauvanistic yakni berupaya menjadikan laki-laki berada di bawah kuasa perempuan.
Ada unsur perlawanan terhadap laki-laki di dalam cara pandang feminisme barat sehingga menyebabkan gagasan tersebut berkarakter maskulin. Namun, gagasan feminisme menurut tradisi Islam berbeda. Menurut Shulhan Kholidi, seorang pemikir muda yang pernah menempuh program studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir di Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, feminisme dalam tradisi Islam mengusung wacana gagasan membebaskan perempuan sekaligus merespon teks- teks agama yang cenderung misoginis.
Sebagai contoh, An Nisa’ ayat 34 mengenai kepemimpinan laki-laki. Di dalam QS. An Nisa’ayat 34 memiliki terjemahan yang berbunyi, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”. Shulhan Kholidi menjelaskan bahwa ayat ini seolah-olah telah menjadi dalil mengenai kekuasaan para laki-laki terhadap para perempuan khususnya di lingkungan rumah tangga. Di realita lapangan, ayat ini biasanya digunakan sebagai dalil untuk menempatkan posisi para perempuan di posisi marginal, sehingga membuat para perempuan sulit menjadi pemimpin di arena-arena kepemimpinan publik.
Akhir kata, buku karya Shulhan Kholidi ini ditulis secara sistematis sehingga memudahkan pembaca untuk memahami feminisme barat dan Islam. Dia pintar menjelaskan ulang konsep-konsep feminisme yang tercantum di dalam buku-buku berbahasa serius dengan menggunakan bahasa sangat sederhana. Namun penulis belum memberikan kritikan-kritikan terhadap pemikiran tokoh-tokoh pemikir feminisme barat serta tokoh-tokoh pemikir feminisme di dalam Islam. Tatkala penulis mampu menuliskan argumentasi berupa kritikan- kritikan terhadap para tokoh pemikir feminisme dari peradaban barat dan Islam maka buku ini akan lebih terlihat dinamis serta tidak terasa monoton ketika dibaca.***