MAKLUMAT – Profesor Ir. Daniel M Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA, blak-blakan soal tudingan membela proyek reklamasi Surabaya Waterfront Land. Dia membantah tudingan dari Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3) yang menyebut dirinya membungkus kepentingan PT Granting Jaya dalam pelaksanaan Lokakarya Pengembangan Pusat Maritim Surabaya.
Kegiatan yang semula dijadwalkan digelar pada 1–2 Agustus 2025 di National Ship Design and Engineering Center (NaSDEC) ITS itu akhirnya ditunda atas permintaan Rektor ITS.
“Saya tidak menerima surat itu secara langsung. Saya diberi tahu oleh Profesor Syarief melalui telepon tentang surat dari FM3. Profesor Syarief sendiri mendapatnya dari Bapak Rektor. Beliau menyarankan agar acara ditunda, dan saya menyetujuinya,” ujar Prof. Daniel saat diwawancarai Maklumat.id, Ahad (27/7).
Ia menegaskan bahwa kegiatan tersebut murni inisiatif Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI), bukan bagian dari strategi atau pesanan PT Granting Jaya. NaSDEC, kata Daniel, hanya berperan sebagai tuan rumah.
“Granting tidak minta saya apa-apa. Ini murni inisiatif saya melalui HAPPI,” tegasnya.
Daniel menyebut, tujuan utama lokakarya adalah membahas reposisi Kota Surabaya sebagai kota maritim yang berdaya saing dan inklusif. PT Granting Jaya memang diundang, tetapi hanya sebagai salah satu peserta dari berbagai pihak, termasuk PT PAL Indonesia, Pelindo, asosiasi pelayaran, hingga ikatan perusahaan galangan kapal.
Ia menilai narasi FM3 terlalu menyederhanakan persoalan. “Surabaya terlalu besar untuk hanya didominasi oleh narasi mengenai ikan maupun nelayan,” ucapnya.
Menurut Daniel, secara historis Surabaya memang bukan kota nelayan. Sejak masa kolonial, kota ini sudah berkembang sebagai pusat industri dan perdagangan maritim. Aktivitas nelayan justru menurun akibat sedimentasi yang membuat pelabuhan tak lagi ideal untuk penangkapan ikan.
“Pandangan ini bukan sekadar opini pribadi. Saya sudah menulis banyak kajian ilmiah soal posisi strategis Surabaya dalam peta kemaritiman nasional. Jadi kalau narasi sempit mendominasi, saya keberatan,” katanya.
Kampus Maritim
Ia menambahkan, sejak awal ITS tidak memiliki Fakultas Perikanan karena kampus tersebut memang dibangun untuk memperkuat bidang teknik maritim seperti perkapalan, pelabuhan, dan rekayasa kelautan.
Lebih jauh, Daniel menjelaskan pendekatan yang digunakan HAPPI adalah Integrated Coastal Zone Management atau pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pendekatan ini berbasis pada tiga prinsip: keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan tata kelola.
“Kami pun sebenarnya tidak sepakat dengan pendekatan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terlalu teknokratik dan top-down. Kami lebih percaya pada pendekatan dari bawah, yang partisipatif. Ini penting agar konflik seperti di Rempang atau PIK tidak terulang,” jelasnya.
Ia menegaskan, investasi pesisir harus mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi bumerang karena mengabaikan dimensi kemanusiaan. “Pesisir itu punya wajah budaya. Tidak bisa hanya pakai kacamata ekonomi,” ujarnya.
Di tengah tudingan keberpihakan, Daniel menyebut dirinya justru berada di posisi sulit sebagai penengah. “Kami yang berada di tengah ini menjadi sasaran tembak, dan saya ambil risiko itu. Posisi di tengah itu selalu sulit,” ucapnya.
Ia juga menyinggung inisiatif pada lokakarya sebelumnya, seperti gagasan Rumah Selaras Berdaya—platform dialog antara masyarakat dan investor. Menurutnya, perencanaan pembangunan harus melibatkan berbagai perspektif, bukan hanya logika bisnis.
Daniel mengatakan, sejumlah pihak sudah diundang untuk hadir, mulai dari Bappenas, Bappeda Provinsi Jatim, hingga Kepala Bappedalitbang Surabaya, Irvan Wahyudrajat. Namun, karena permintaan dari Rektor ITS yang mengakomodasi permintaan FM3, lokakarya akhirnya ditunda.
“Padahal kami ingin mempertemukan berbagai pandangan yang berpotensi konflik. Tapi ya sudah, kami hormati keputusan rektor,” katanya.
Tidak Ada Sesi Surabaya Waterfront Land
Daniel juga menepis anggapan bahwa lokakarya itu digelar untuk membahas proyek reklamasi Surabaya Waterfront Land (SWL). Ia menegaskan, tidak ada sesi khusus mengenai SWL dalam agenda.
“Rencananya hari pertama akan diisi panel soal posisi strategis Surabaya dalam pembangunan maritim. Hari kedua baru kita gelar lokakarya penyusunan rekomendasi,” jelasnya.
Ia menegaskan, jika ITS terlibat dalam proyek strategis pesisir, hal itu bukan keberpihakan, melainkan tanggung jawab akademik.
“Kalau kami tidak terlibat, lalu siapa? Masa orang asing? Orang Dubai, Tiongkok, Inggris? Kan lucu. ITS itu kampus maritim. Masa berpangku tangan?” tegas Daniel.
Menurutnya, sejak 1980-an ITS sudah membangun kapasitas untuk mengelola wilayah pesisir. “Ini bukan sekadar pilihan, tapi amanah keilmuan. Kami ingin membentuk tata kelola pembangunan pesisir yang adil dan berkelanjutan,” pungkasnya.