Doxing: Senjata Baru yang Membungkam Suara Kritis

Doxing: Senjata Baru yang Membungkam Suara Kritis

MAKLUMAT — Praktik doxing atau penyebaran data pribadi tanpa izin kian mengkhawatirkan. Alih-alih menjadi alat kontrol sosial yang sehat, doxing kini menjelma menjadi senjata represif terhadap jurnalis, peneliti, hingga seniman yang menyuarakan kritik. Kebebasan berpendapat pun terancam dibungkam oleh rasa takut dan intimidasi.

Sebagai informasi, doxing adalah tindakan menyebarluaskan data pribadi seseorang—biasanya mencakup pekerjaan, nomor ponsel, alamat rumah, riwayat pendidikan, bahkan hingga identitas anggota keluarga—di internet tanpa seizin pemiliknya.

Ahli media baru dan budaya populer dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Rina Sari Kusuma, menilai tindakan tersebut sebagai bentuk represi. “Ketika kita expose data pribadi seseorang dengan tujuan jahat, represif, itu menjadi sesuatu yang tidak dibenarkan,” tegasnya, dilansir laman resmi UMS, Sabtu (14/6/2025).

Rina menyebut doxing dapat membatasi ruang gerak jurnalis dan publik dalam menyampaikan pendapat. “Ini jadi momok bagi orang-orang yang ingin perubahan, namun khawatir datanya disebar,” lanjutnya.

Ia menambahkan, kini muncul strategi kritik halus lewat metafora untuk menghindari ancaman doxing, seperti menggunakan istilah “wakanda”, “parcok”, atau “Mulyono”. Menurutnya, ini adalah cara menyampaikan kritik tanpa terlihat vulgar.

“Itu lebih ke strategi agar tidak terlihat mengkritik secara langsung. Untuk membalikkan argumen yang kemudian dianggap tidak menghina begitu,” kata dosen Ilmu Komunikasi UMS itu.

Menurut laporan Tempo yang dikutip Sabtu (14/6/2025), jurnalis Bisnis Indonesia, Ni Luh Angela, menjadi korban doxing usai menulis artikel tentang kenaikan nilai impor produk Israel ke Indonesia. Data pribadinya disebarkan, disertai tuduhan memanipulasi informasi.

Baca Juga  Ketum DPP IMM Riyan Dukung Senior Berkiprah di Parpol, Termasuk PSI

Fenomena serupa dialami grup band Sukatani. Gitaris dan vokalisnya, Muhammad Syifa Al Lutfi dan Novi Citra Indriyati, bahkan ditangkap setelah merilis lagu kritis berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’. Mereka akhirnya menarik lagu tersebut dan mengunggah video imbauan kepada publik untuk berhenti menyebarkannya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, juga sempat menjadi korban. Usai ICW menyebut Presiden Jokowi sebagai salah satu nominasi tokoh terkorup versi OCCRP, akun @volt_anonym menyebarkan identitas lengkap Diky, termasuk alamat rumah hingga lokasi terakhir.

Namun doxing tak selalu satu sisi, tindakan tersebut pada konteks tertentu bak pisau bermata dua. Dalam konteks keadilan sosial, doxing kerap digunakan masyarakat sebagai bentuk cyber vigilante terhadap pelaku kejahatan. Kasus Mario Dandy dan Rafael Alun Trisambodo adalah contoh nyata. Begitu pula tragedi tabrakan di UGM yang melibatkan Christiano Tarigan, yang membuat data pribadinya tersebar luas di media sosial.

Doxing dan cancel culture itu sangat dekat. Ada kepuasan tertentu saat warganet merasa berhasil menelanjangi pelaku,” ungkap Rina.

Meski demikian, doxing tetap merupakan tindakan yang melanggar hukum. Ahli hukum perdata UMS, Diana Setiawati, menyebut tindakan ini melanggar UU Pers, terutama Pasal 8 yang menjamin perlindungan hukum bagi wartawan.

Selain itu, Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) secara tegas mengatur bahwa setiap pengendali data wajib meminta izin dari subjek data sebelum menyebarkannya. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenai sanksi pidana hingga lima tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar.

Baca Juga  Ekonom UMS: Permendag No 8/2024 Turut Andil Menumbangkan Sritex

“Ketika seorang wartawan jadi korban karena karya jurnalistiknya, maka ia berhak mendapat perlindungan hukum dari negara,” ujar Diana.

Sayangnya, penegakan UU PDP masih jauh dari harapan. Menurut Diana, belum optimalnya otoritas pengawas perlindungan data dan keterbatasan kapasitas aparat dalam menangani kasus digital menjadi penghambat utama.

Pendidikan publik tentang hak atas data pribadi juga sangat penting agar masyarakat sadar, dan tahu bagaimana melapor jika menjadi korban,” pungkasnya.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *