MAKLUMAT — Kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencatat ribuan korban. Angka itu seketika membuat publik panik dan mempertanyakan tata kelola program yang seharusnya memberi manfaat bagi anak-anak sekolah. Di tengah hiruk pikuk kritik dan tuntutan, suara berbeda datang dari pakar kesehatan masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. dr. Merita Arini, MMR.
Merita tidak buru-buru menyalahkan atau menolak program. Ia justru menegaskan MBG tetap penting untuk meningkatkan gizi dan kualitas pendidikan. Namun, ia mengingatkan ada hal besar yang harus segera dibenahi: pengawasan, distribusi pangan, dan keterlibatan publik.
“Tujuan MBG sangat bagus. Penelitian sudah membuktikan makan siang di sekolah berdampak positif bagi gizi, kesehatan, hingga prestasi siswa. Tetapi ketika ribuan anak keracunan, itu artinya ada yang salah dalam pelaksanaan. Kita harus evaluasi serius, bukan menghentikan program,” kata Merita dikutip, Jumat (26/9/2025).
Bagi Merita, masalah utama bukan pada ide, melainkan pada eksekusi. Ia menyebut kontaminasi makanan sebagai penyebab paling sering keracunan massal. Mikroba, toksin alami, atau bahan pangan hewani yang tidak segar bisa memicu racun berbahaya. Karena itu, rantai pengadaan harus benar-benar ketat, mulai dari bahan baku, proses masak, hingga distribusi.
Namun, di luar aspek teknis, Merita menyoroti satu hal yang jarang disentuh: partisipasi masyarakat. Ia percaya publik tidak boleh dipinggirkan.
“Selama ini masyarakat justru dibatasi, tidak boleh foto atau melapor. Padahal, keberhasilan MBG sangat ditentukan keterlibatan semua pihak. Kalau program hanya top-down, risiko kesalahan akan berulang. MBG harus partisipatif, supaya semua merasa ini program bersama,” tegasnya.
Pernyataan itu menggambarkan pandangan Merita yang tak sekadar bicara soal nutrisi dan dapur produksi. Ia melihat pentingnya membangun budaya transparansi dan pengawasan sosial. Menurutnya, guru, siswa, orang tua, hingga warga sekitar sekolah punya hak dan kewajiban ikut memantau jalannya MBG.
“Kalau ada kebiasaan hidup bersih, cuci tangan sebelum makan, peralatan steril, ditambah kontrol dari masyarakat, risiko keracunan bisa ditekan. MBG hanya berhasil kalau semua pilar dijalankan bersama-sama,” ujarnya.
Di tengah derasnya kritik, Dr. Merita menghadirkan perspektif yang jernih. Ia tidak menolak program, tapi juga tidak menutup mata terhadap fakta ribuan korban. Yang ia tawarkan adalah jalan tengah: memperkuat sistem sekaligus membuka ruang partisipasi. Sebuah suara yang mengingatkan bahwa gizi anak-anak bukan sekadar urusan pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif masyarakat.***