
MAKLUMAT — Kekuasaan absolut dapat membutakan manusia, tanpa memandang latar belakang, status sosial, ataupun pengalaman hidup yang dimilikinya. Ketika seseorang memegang kekuasaan secara berlebihan, ia dapat terperangkap dalam arus kemewahan, pengaruh, dan kontrol yang dimilikinya.
“Ada yang sebelum berkuasa, orangnya baik. Tapi setelah mendapat kekuasaan, itu semua hilang. Berubah perilakunya,” ujar Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi saat menjadi pembicara dalam kajian Gerakan Subuh Mengaji (GSM) Aisyiyah Jawa Barat via Zoom pada Kamis (17/4/2025) lalu.
Dalam kesempatan ini, Ridho membahas hasil risetnya yang sudah menjadi buku berjudul DRAMOKSI: Drama Demokrasi Indonesia 2024, yang merupakan hasil risetnya bersama para akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Riset tersebut didorong oleh fakta bahwa 2024 merupakan tahun yang penuh dengan dinamika politik bagi Indonesia, yang ditandai dengan banyaknya peristiwa kontroversial. Data yang diambil untuk riset ini berasal dari berita yang tersebar di media massa online.
“Ada empat isu yang dianalisis, yaitu presiden boleh kampanye, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pilpres 2024, aksi peringatan darurat, dan fenomena kotak kosong pilkada serentak 2024,” imbuh Ridho.
Pemerintah Konsisten Menjadi Villain
Dalam buku DRAMOKSI: Drama Demokrasi Indonesia 2024 itu, Keempat isu yang dipaparkan Ridho dianalisa dengan pendekatan narrative policy framework (NPF), yang menyoroti peran narasi dalam pembentukan kebijakan publik, dengan aktor-aktor politik membangun narasi untuk memengaruhi pandangan masyarakat dan arah kebijakan.
Tiga aktor yang dipetakan yaitu pahlawan (hero), penjahat (villain), dan korban (victim). Adapun pihak pemerintah konsisten sebagai villain. “Artinya baik itu eksekutif maupun legislatif termasuk di dalamnya partai politik itu terkesan sebagai pihak yang tidak peduli dengan kepentingan masyarakat,” imbuhnya.
Masyarakat sipil, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, hingga sebagian partai konsisten sebagai heroes yang masih memperjuangkan kepentingan umum. Dari temuan ini, Ridho melihat bahwa kekuatan yang mampu mengontrol penguasa hanya tinggal masyarakat sipil.
“Dari empat isu ini, dapat diketahui bahwa mayoritas kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan aspirasi publik. Karena pemerintah, khususnya untuk isu presiden boleh kampanye, Jokowi mengatakan boleh, padahal undang-undang itu tidak boleh,” paparnya.
Sementara itu, kelompok politisi mengalami fragmentasi. Adapun koalisi bergantung pada isu dan soliditas internal partai yang memburuk. Partai politik cenderung bergerak sesuai kepentingan masing-masing, yang kadang selaras dengan aspirasi publik, namun lebih sering tidak.
“Sementara itu, korban (victim) dari empat isu drama demokrasi ini adalah masyarakat pemilih dan demokrasi kita yang semakin memburuk,” jelasnya.
Pertarungan Narasi Pro dan Kontra
Ridho menjelaskan bahwa pertentangan antara kubu yang pro dan kontra di keempat isu tersebut memperlihatkan bahwa, secara umum, narasi dari pihak pendukung tampak sebagai upaya pembenaran dari kelompok penguasa demi meraih ambisi mereka.
Ia mencontohkan seperti fenomena kotak kosong pilkada serentak 2024. Ada yang menormalisasikan calon tunggal sebagai hal yang baik. Secara hukum ini sah. Padahal, ini kurang sesuai dengan spirit demokrasi.
“Namun kotak kosong adalah pertarungan tanpa kompetisi. Padahal sejatinya demokrasi harus mengandung kompetisi. Kalau demokrasi harus mengandung kompetisi, maka harus ada minimal dua calon,” imbuhnya.
Di sisi lain, narasi kontra menggambarkan kondisi demokrasi yang kian rapuh, seperti telur di ujung tanduk. Artinya berada dalam situasi berbahaya dan perlu segera diselamatkan dari cengkeraman kekuasaan yang kian dominan.
Narasi pro umumnya menekankan aspek legalitas, konstitusionalitas, kredibilitas lembaga, dan stabilitas politik. Sementara itu narasi kontra lebih menyoroti persoalan etika, konflik kepentingan, pelanggaran demokrasi, dan kemunduran partisipasi publik.
Ketegangan antara pembenaran hukum dan kekhawatiran terhadap kerusakan nilai-nilai demokrasi mencerminkan dinamika serta kompleksitas politik dan demokrasi di Indonesia saat ini. “Ini harus menjadi perhatian bersama secara umum,” jelas Ridho.
Tekanan Publik Masih Efektif
Dari keempat isu yang dianalisis, tekanan dari masyarakat berhasil memengaruhi beberapa isu penting seperti “Presiden Boleh Kampanye” dan “Peringatan Darurat”. Dalam isu pertama misalnya, berakibat pada Jokowi membatalkan niatnya untuk secara terbuka berkampanye bagi pasangan Prabowo-Gibran.
“Juga tekanan publik cukup berhasil dalam serial drama peringatan darurat. Karena pada akhirnya DPR membatalkan untuk membatalkan RUU Pilkada. Tapi itu setelah berbagai drama yang memakan banyak korban, terutama dari mahasiswa,” tambahnya.
Namun, pada dua isu lainnya, yaitu “Putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024” dan “Kotak Kosong dalam Pilkada Serentak 2024”, tekanan publik tidak berhasil membawa perubahan.
Dalam isu pertama, Ridho menjelaskan bahwa ini masih menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat. Meski demikian, ia juga menjelaskan bahwa keputusan MK tersebut telah diambil dengan mempertimbangkan banyak hal, termasuk segala risiko-risiko yang ada.
Meski begitu, Ridho tetap memandang bahwa tekanan publik serta peran media massa tetap menunjukkan efektivitas dalam memengaruhi proses penyusunan kebijakan, meskipun harus ditempuh melalui serangkaian gerakan perlawanan dari rakyat.
“Di tengah situasi politik tanah air yang mungkin sebagian orang sudah putus asa, sebagaian orang sudah tidak bisa berharap lagi pada pejabat atau penguasa, tapi ternyata tekanan publik dan tekanan media massa itu masih efektif,” jelasnya.
_______________
Penulis: M Habib Muzaki