MAKLUMAT — Dunia kedokteran Indonesia belakangan menjadi sorotan publik. Deretan kasus kekerasan, pelecehan seksual, hingga dugaan bunuh diri yang melibatkan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menyita perhatian. Di antaranya, kasus pemerkosaan anak pasien oleh dokter PPDS Unpad di RS Hasan Sadikin, dan dugaan bunuh diri dokter PPDS Undip karena tekanan dan bullying berat.
Menanggapi situasi ini, Ketua Prodi (Kaprodi) Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), dr Nur Aini Hasan MSi, menyatakan akar masalah terletak pada sistem pendidikan PPDS yang selama ini membiarkan budaya kekerasan dan tekanan berlebihan berkembang. “Itu bisa dibilang budaya di PPDS. Siapa yang kuat, dia yang bisa lanjut sekolah,” ujarnya, dilansir dari laman resmi Umsida, Jumat (25/4/2025).

Menurutnya, beban kerja yang ekstrem, relasi kuasa senior-junior yang timpang, serta minimnya waktu istirahat membuat banyak dokter PPDS berada dalam tekanan psikis yang berat. Dalam situasi ini, tak jarang kekerasan dan pelampiasan terjadi baik ke sesama rekan kerja, maupun ke pasien.
“Kadang mereka kerja dua sampai tiga hari tanpa pulang. Belum lagi tekanan dari senior, bahkan untuk urusan di luar tugas medis,” sorot dr Nur.
Ia menyebut, sebagian besar pelaku kekerasan dulunya juga korban. Budaya ini berjalan turun-temurun, bahkan dipelihara dalam sistem pendidikan dokter spesialis yang seolah membenarkan kekerasan sebagai ujian ketahanan.
“Menjadi PPDS itu harus kuat secara finansial, bukan cuma untuk biaya pendidikan, tapi juga untuk melayani senior,” ungkap alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Sistem Pendidikan PPDS Harus Direformasi
Lebih lanjut, dr Nur menegaskan perlunya reformasi sistem pendidikan PPDS. Saat ini, tanggung jawab pendidikan dokter spesialis masih dibebankan pada rumah sakit yang kekurangan tenaga pengajar.
“PPDS itu membawa nama institusi pendidikan, bukan rumah sakit. Tapi dosennya enggak punya waktu ngajar karena harus operasi, poli, dan visit pasien,” jelasnya.
Kondisi ini, lanjutnya, mendorong pelimpahan tugas kepada PPDS senior yang kemudian diteruskan ke junior, menciptakan lingkaran setan kekerasan struktural.
Karena itu, sistem rekrutmen PPDS pun kini mulai diubah tidak lagi mendaftar ke universitas, tetapi langsung ke rumah sakit. Harapannya, para dokter pengajar bisa lebih fokus dalam membimbing PPDS.
“Fokus kita bukan cuma menghukum pelaku, tapi perbaikan sistem supaya kejadian serupa tak berulang,” tandas dr Nur.
Pendidikan Etika dan Karakter
Tak hanya itu, dr Nur juga menekankan soal pentingnya pendidikan karakter, etika medis, serta pendekatan psikologi sejak awal menempuh pendidikan kedokteran.
“Dokter bukan hanya cerdas, tapi harus punya karakter. Karena itu, sebelum lulus ada dua sumpah yang harus diucapkan: sumpah dokter muda dan sumpah dokter,” tegasnya.
Ia mendorong pendekatan interdisipliner yang menyentuh aspek psikologi, komunikasi, dan hukum dalam kurikulum kedokteran. Terlebih, dalam Fakultas Kedokteran Umsida, supaya tidak sampai terjadi hal serupa.
“Kami ingin lulusan FK Umsida bukan hanya unggul secara akademik, tapi juga menjunjung tinggi akhlak. Ilmu tanpa akhlak, bisa menyebabkan kejadian-kejadian viral itu,” harap dr Nur.
Ia berharap, reformasi menyeluruh segera dilakukan agar profesi dokter tak semakin kehilangan marwah di mata publik dan sistem pendidikan kedokteran tidak terus melanggengkan kekerasan.