27.8 C
Malang
Sabtu, Desember 28, 2024
KilasEkonom UM Surabaya Jelaskan Dampak Kenaikan PPN 12% Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Ekonom UM Surabaya Jelaskan Dampak Kenaikan PPN 12% Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Ilustrasi pajak. Filepino

MAKLUMAT – Ekonom Universitas Muhammadiyah Surabaya, Arin Setyowati menilai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memperburuk daya beli masyarakat dan stabilitas konsumsi ekonomi. Kebijakan ini menyebabkan konsumen harus mengeluarkan biaya lebih akibat dari naiknya harga barang dan jasa.

Menurutnya, kenaikan PPN berpotensi menekan daya beli masyarakat, yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

“Sektor UMKM berisiko tertekan, karena bergantung pada permintaan domestik. Belum lagi risiko penurunan daya beli konsumen,” katanya mengutip laman resmi Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Sebetulnya, pemerintah telah merespons kebijakan ini dengan menaikkan upah kerja yang rata-rata naik 6,5 persen. Harapannya agar bisa mendorong konsumsi rumah tangga.

Dosen di Fakultas Agama Islam, program studi Perbankan Syariah ini mengakui kebijakan menaikkan upah kerja belum mampu memberi dampak positif. Sebaliknya, kenaikan upah kerja yang berbarengan dengan kenaikan PPN masih menjadi beban.

Kenaikan UMK Dirasakan Pekerja Formal

“Sejauh ini baru pekerja formal yang meraskan dampak dari kenaikan UMK. Sedangkan sektor informal yang menyerap mayoritas tenaga kerja, kerap tidak merasakan dampaknya,” imbuhnya.

Sebetulnya, kenaikan UMK berpotensi meningkatkan biaya produksi bagi pelaku usaha, terutama di sektor padat karya. Hal ini berpotensi memperbesar inflasi dari sisi biaya produksi.

Kombinasi kenaikan PPN dan UMK menciptakan dilema ekonomi yang kompleks. Kenaikan UMK memang memberikan insentif tambahan bagi pekerja, namun belum cukup untuk mengimbangi dampak kenaikan PPN.

“Secara makroekonomi, kedua kebijakan ini berisiko memperburuk inflasi di akhir tahun. Apalagi jika pelaku usaha meneruskan beban kenaikan pajak dan upah ke harga barang dan jasa,” urainya.

Butuh Kebijakan Fiskal Progresif

Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, inflasi November 2024 sebesar 1,55 persen. Angka ini berpotensi naik, yang bisa mereduksi pertumbuhan ekonomi. Dampaknya menghambat upaya pemerintah menjaga stabilitas perekonomian di tengah ketidakpastian global.

Ia berharap pemerintah perlu mempertimbangkan langkah mitigasi. Misalnya memberi insentif bagi UMKM atau subsidi bagi kelompok masyarakat rentan.

Kebijakan fiskal yang lebih progresif pada kelompok berpenghasilan tinggi, bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan penerimaan tanpa membebani konsumsi domestik.

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer