Penegakan Hukum Lingkungan Lahan Basah: Dilema Kebutuhan Ekonomi dan Kelestarian

Penegakan Hukum Lingkungan Lahan Basah: Dilema Kebutuhan Ekonomi dan Kelestarian

MAKLUMAT — Isu pembukaan lahan dengan cara membakar seringkali menjadi topik kontroversial, terutama di kawasan lahan gambut yang kaya karbon. Kita dikejutkan oleh data bahwa sekitar 98 persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia, baik disengaja maupun karena kelalaian.

Penulis: Nona Aqeela Sumangkut

Reaksi pemerintah telah tegas: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) secara gamblang melarang pembakaran lahan dengan ancaman pidana penjara 3-10 tahun dan denda miliaran rupiah. Namun, hanya mengedepankan sanksi pidana tanpa melihat akar masalah adalah pandangan yang dangkal. Opini ini berpendapat bahwa efektivitas penegakan hukum lingkungan di lahan basah sedang menghadapi dilema serius antara idealisme perlindungan ekologis dan realitas kebutuhan ekonomi masyarakat kecil, yang diperparah oleh keterbatasan pengawasan dan kurangnya solusi alternatif yang terjangkau.

Bagi masyarakat adat dan petani kecil yang hidup di sekitar ekosistem lahan gambut, pembakaran lahan seringkali bukan pilihan utama, melainkan satu-satunya solusi yang terjangkau. Tindakan ini dipandang sebagai metode tradisional yang murah, cepat, dan dianggap efektif untuk membersihkan lahan, membasmi gulma dan hama, bahkan dipercaya dapat meningkatkan kesuburan tanah sementara waktu.

Aspek tarif ekonomi menjadi kunci

Penggunaan metode mekanis atau teknologi zero burning lainnya membutuhkan modal besar dan akses pada alat berat yang sulit dijangkau. Dalam konteks ini, larangan total tanpa didampingi oleh solusi teknologi alternatif yang terjangkau dan mudah diterapkan akan menciptakan dampak sosial dan ekonomi yang besar, bahkan berpotensi memicu konflik. Selain itu, terdapat anggapan di masyarakat bahwa lahan bekas terbakar memiliki nilai jual yang lebih tinggi— sebuah faktor ekonomi yang sayangnya turut memotivasi tindakan ilegal ini.  Ini menegaskan bahwa isu PLTB adalah masalah multi-dimensi, bukan semata-mata masalah moral atau ketidaktaatan.

Baca Juga  Prabowo Terima Steve Forbes di Istana, Bahas Investasi dan Masa Depan Ekonomi RI

Tantangan dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

Meskipun kerangka hukumnya kuat, implementasi di lapangan menunjukkan sejumlah kelemahan, khususnya terkait penegakan sanksi pidana. Luasnya wilayah lahan basah, termasuk ekosistem gambut dan mangrove yang rentan pencemaran, membuat pengawasan menjadi tidak merata. Kurangnya koordinasi yang optimal antarlembaga penegak hukum (Polisi, Kejaksaan, Kementerian Lingkungan Hidup) sering menjadi kendala utama.

Meskipun UUPPLH memberikan ancaman hukuman yang berat, dalam praktiknya, seringkali terjadi disparitas putusan atau kesulitan dalam pembuktian unsur kesengajaan, terutama jika pelaku adalah
perorangan atau masyarakat adat. Penegakan hukum yang efektif harusnya juga menyasar korporasi besaryang memanfaatkan metode ini, alih-alih hanya berfokus pada petani kecil. Sanksi tidak akan efektif tanpa disertai dengan pendidikan hukum lingkungan dan pemberian solusi nyata. Misalnya, bantuan untuk implementasi teknologi zero burning yang adaptif terhadap karakteristik lokal lahan gambut, atau insentif bagi petani yang menggunakan metode pertanian berkelanjutan.

Kompromi Berbasis Keberlanjutan

Untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologis dan ekonomi lahan basah bagi generasi mendatang, diperlukan pendekatan komprehensif. Larangan total tanpa solusi yang adil akan terus menuai perlawanan sosial.

Solusinya terletak pada Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Berorientasi Solusi:
1. Pendekatan Restorative Justice untuk Rakyat Kecil:

Khusus bagi petani kecil dan masyarakat adat, penegakan hukum perlu mempertimbangkan aspek sosiologis dan ekonomi. Sanksi pidana dapat digantikan atau didampingi dengan sanksi administratif berorientasi pemulihan (restorative justice), seperti wajib rehabilitasi lahan, pelatihan teknik zero burning, atau penerapan denda yang diarahkan untuk dana konservasi lokal.

Baca Juga  Apresiasi Program Listrik Desa, Hetifah: Langkah Strategis Majukan Pendidikan di Daerah 3T

2. Perketat Sanksi bagi Korporasi: Penegakan hukum harus diperberat dan tidak tebang pilih terhadap korporasi yang terbukti melakukan kejahatan lingkungan, seperti pencemaran limbah ke ekosistem mangrove atau kebocoran bahan kimia yang merusak tanah gambut. Sanksi denda dan pencabutan izin harus benar-benar diterapkan secara maksimal.

3. Memperkuat Peran Pemerintah Daerah (Pemda): Pemda harus diberikan mandat dan dukungan anggaran yang lebih besar untuk memfasilitasi solusi alternatif seperti penyediaan alat bajak, program pertanian terpadu, atau sistem irigasi lahan gambut (misalnya, teknik rewetting).

Pada akhirnya, pelestarian lingkungan hidup adalah tanggung jawab kolektif. Penegakan hukum yang berkeadilan, disertai solusi teknologi yang memihak rakyat kecil, adalah kompromi terbaik untuk mengakhiri dilema api di lahan gambut dan menjamin lingkungan lestari.***

*) Penulis: Nona Aqeela Sumangkut
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *