MAKLUMAT – Pendidikan ala militer kini tengah marak diterapkan di berbagai sekolah sipil bahkan pesantren. Aktivitas seperti baris-berbaris, penggunaan seragam loreng, hingga pola pembinaan bergaya barak mulai diadopsi. Namun, apakah model pendidikan ini benar-benar efektif membentuk karakter anak?
Dalam podcast terbaru, Maklumat TV bersama KH. Muhammad Sholihin Fanani, pakar pendidikan sekaligus Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, terungkap kritik tajam terhadap tren ini. Fanani menyebut, pendidikan ala militer cenderung ditujukan untuk mencetak perubahan instan, padahal pendidikan sejati adalah proses jangka panjang yang utuh dan menyeluruh.
“Pendidikan adalah proses mendidik diri yang terencana, terpadu, dan berkesinambungan. Bukan hanya disiplin fisik,” tegasnya dikutip Jumat (30/5/2025).
Membangun Kesadaran
KH. Fanani menekankan pentingnya kesadaran sebagai buah dari proses, bukan hasil tekanan. Ia menyayangkan jika pendidikan hanya difokuskan pada upaya “menjinakkan” anak-anak nakal melalui ketakutan dan hukuman.
“Sering dimarahi atau dibentak justru membuat anak kehilangan kecerdasannya. Otak anak bisa terputus koneksinya karena trauma,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menolak paradigma bahwa keberhasilan pendidikan diukur dari kepatuhan dan kedisiplinan semata. Fanani menyoroti pentingnya ranah afektif: empati, kesadaran berbagi, serta kemampuan menyelesaikan masalah sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter.
Tiga Pilar Pendidikan: Keluarga, Sekolah, Masyarakat
Merujuk teori pendidikan klasik, KH. Fanani menyebutkan bahwa pembentukan karakter anak tidak bisa dibebankan pada sekolah saja. Pendidikan, menurutnya, terdiri dari tiga pilar utama: keluarga (60%), sekolah (20%), dan masyarakat (20%).
“Kalau anak-anak kita tidak seperti yang kita harapkan, jangan buru-buru menyalahkan sekolah. Lihat dulu bagaimana pola asuh di rumah dan pengaruh lingkungan sekitar,” imbuhnya.
Dalam pandangan Islam, ia juga menukil pendapat Imam Al-Ghazali bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh empat faktor: agama, ilmu pengetahuan, lingkungan, dan kebiasaan. Keempat faktor ini harus harmonis agar pendidikan benar-benar menumbuhkan karakter yang utuh.
Model Keteladanan, Bukan Kekerasan
Sebagai penutup, KH. Fanani menekankan bahwa mendidik bukan sekadar mengajar. Pendidikan harus berbasis keteladanan, bukan kekerasan atau ketakutan. Ia mengajak guru dan orang tua untuk menjadi panutan dalam ucapan, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak.
“Mengajar itu bukan cuma transfer of knowledge, tapi transfer of value. Anak-anak meniru, bukan sekadar mendengar.”
Meskipun pendidikan ala militer mungkin menunjukkan perubahan perilaku jangka pendek, KH. Fanani menegaskan bahwa pendekatan tersebut tidak cukup untuk membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan membutuhkan proses panjang, kasih sayang, dan keteladanan – bukan tekanan dan disiplin kaku semata.***