Fitnah Pesantren: Desakralisasi Pesantren

Fitnah Pesantren: Desakralisasi Pesantren

Oleh: Nurbani Yusuf *)

MAKLUMAT — Empat abad silam, para guru para wali para masayikh meinggalkan hidup mewah dan glamor, menyepikan diri dari sibuk urusan dunia, pergi ke tempat sepi yang tandus dan ‘angker’, mendirikan Pesantren. Sekarang sebaliknya.

Gus Dur pernah berkelakar, “Di Amerika semua orang dianggap maling maka dibuat aturan super ketat hingga maling susah nyolong.”

Tapi di Indonesia sebaliknya: semua orang dianggap baik, aturan bisa dibeli maka ulama pun bisa nyolong.

***

Kekuasaan adalah celah, banyak uang adalah beban. Pada hari kiamat para penguasa akan diinjak, orang kaya akan dikalungkan hartanya. Maka Raja Balkh, Ibrahim bin Adham meninggalkan semua mewah dan riuh istana—taggalkan jabatan sebagai raja dan memilih hidup melarat di gua-gua, uzlah di bukit tandus, menjauh dari urusan dunia, berlapar-lapar dan berjalan kaki dengan pakaian lusuh.

Benarkah menjadi jelata dan melarat adalah hidup yang dimuliakan dalam ajaran Islam? Sebut saja Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang yang jujur, menanggalkan semua kekayaan dan memilih menjadi miskin, bahkan konon tak mampu membelikan sehelai baju buat putrinya pada hari raya dan sering pingsan karena lapar. Atau Gubernur Amir bin Jumhi, menyimpan dua helai pakaian yang dipakai bergiliran dan kerap pingsan karena lama tak makan.

Baginda Rasulullah Saw pun hidup sangat sederhana—tinggal di kamar sempit, berpakaian dan ‘dhahar’ seadanya—bahkan konon beliau sempat hendak menceraikan  semua isterinya karena tuntutan tambahan nafkah.

Baca Juga  Polemik TPP Mencalonkan Diri sebagai Caleg dari Tinjauan Hukum

Sayidah Fatimah Az-Zahra, puteri kesayangan Rasulullah Saw pun harus pulang dengan tangan kosong, ketika meminta bantuan kepada ayahandanya agar diberi seorang pembantu karena tangannya kerap lecet sebab bekerja keras.

***

Abdurrahman bin Auf ra saudagar kaya raya itu pun memimpikan hidup miskin, memilih bangkrut, sebab ia diramal bakal masuk surga dengan cara merangkak karena terlalu berlimpah harta.

Pada kesempatan lain Rasulullah Saw bertutur bahwa orang kaya terlambat setengah hari (setara 500 tahun waktu dunia) masuk surga, disalip orang-orang miskin karena audit yang harus dijalani disebabkan hartanya itu. Maka banyak orang Islam menjauhi kekuasaan dan hidup miskin untuk menghindari audit yang sangat.

Ada beberapa Kiai yang merelakan sawah ladangnya, bahkan menggadaikan rumahnya untuk mendirikan pesantren tetap hidup, ada pula Kiai dan keluarganya yang menikmati hasil kerja keras kakek buyutnya dengan kehidupan glamor yang dipertontonkan.

***

Kesucian Kiai dan pesantren kini disoal. Dibuka lebar bahkan ditelanjangi. Masyarakat baru itu bernama netizen: bisa ‘merujak’ siapapun termasuk presiden, cendekiawan, politisi, kiai, ustaz, pendeta, atau apapun yang dianggap sakral tidak tersentuh, yang diposisikan selalu benar, yang suci sebab itu kuwalat mengganggunya.

Aku berlindung kepada Allah dari masyarakat netizen yang berisik…

*) Penulis: Nurbani Yusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *