MAKLUMAT — Forum Dekan Fakultas Hukum (Fordek FH) dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (STIH PTM) se-Indonesia menyampaikan pernyataan tegas terkait isu pemagaran laut yang menjadi sorotan publik. Dalam keterangan pada Ahad (19/1/2025), mereka menyoroti pelanggaran hukum terkait klaim kepemilikan wilayah pesisir laut oleh pihak tertentu yang mengaku telah membeli lahan dari masyarakat.
“Pesisir pantai dan pesisir laut adalah daerah sempadan yang bukan objek pengaturan UU Pokok Agraria,” ujar Ketua Fordek FH dan STIH PTM se-Indonesia, Dr Faisal.
Ia menegaskan, tanah di wilayah pesisir pantai tidak dapat diberikan sertifikat hak atas tanah. Begitu pula wilayah pesisir laut yang seluruhnya terdiri dari air dan lautan, tidak boleh disertifikasi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang hanya mengatur hak atas tanah di daratan.
Tanpa Landasan Hukum, Sertifikat Laut Tidak Sah
Faisal menjelaskan, penerbitan sertifikat di wilayah pesisir laut melanggar Undang-Undang (UU) Penataan Ruang jika tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Tidak ada landasan hukum yang memperbolehkan penerbitan sertifikat hak atas tanah di wilayah laut atau pesisir laut,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pelanggaran semacam ini dapat berdampak pada ekosistem laut dan keberlanjutan ekonomi masyarakat, terutama nelayan. Aktivitas pemagaran laut yang tidak memiliki Izin Pemanfaatan Ruang Laut (IPRL) dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, Fordek FH dan STIH PTM se-Indonesia juga menyoroti dampak serius dari pemagaran laut, seperti kerusakan ekosistem, terganggunya aliran air, dan rusaknya habitat laut. Selain itu, pembatasan akses nelayan ke wilayah penangkapan ikan melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang menjamin hak ekonomi dan sosial nelayan kecil.
“Kegiatan seperti ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan sosial,” ujar Dr. Faisal. Ia juga menyoroti perlunya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tuntutan Fordek FH dan STIH PTM
Atas dasar pelanggaran tersebut, Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia menyampaikan empat tuntutan utama:
Pertama, segera membongkar pagar laut yang terindikasi melindungi proyek oligarki.
Kedua, mengusut tuntas jejaring yang terlibat dalam pembangunan pagar laut.
Ketiga, mendorong masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merugikan ekosistem dan masyarakat luas.
Keempat, menginstruksikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk melakukan kajian komprehensif terkait dampak pembangunan pagar laut.
“Pemagaran yang membatasi akses nelayan dapat dipandang sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial nelayan lokal,” tutupnya.
Melalui pernyataan ini, Fordek FH dan STIH PTM se-Indonesia berharap pemerintah dan pihak terkait dapat segera mengambil langkah untuk menyelesaikan permasalahan pemagaran laut dan memastikan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan adil.