Gajah Menantang Banteng

Gajah Menantang Banteng

MAKLUMAT — Suasana Solo dan sekitarnya menghangat dalam sepekan terakhir. Penyebabnya adalah dua hajatan besar yang beririsan antara politik dan kekuasaan: Kongres I Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang digelar di Kota Solo, serta peluncuran program 80.000 Koperasi Merah Putih di Kabupaten Klaten.

Sekitar 8.000 kepala desa dari seluruh Jawa Tengah hadir secara langsung di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari—eks Kawedanan Delanggu, Klaten. Kehadiran mereka bukan hanya menyemarakkan acara, tetapi juga menjadi simbol dukungan terhadap gerakan koperasi berbasis desa yang digagas oleh pemerintah pusat.

Yang menarik, ribuan bendera PSI dengan logo baru bergambar gajah hitam berkepala merah tampak mendominasi jalanan di sekitar Solo. PSI kini tampil all out, seolah hendak menjawab tantangan zaman sekaligus mengirim sinyal ke arah Jokowi dan PDIP.

Di Klaten, tempat peluncuran koperasi itu digelar, bendera partai koalisi seperti Gerindra dan PAN berkibar berdampingan. Namun, tak tampak sehelai pun bendera berlogo banteng moncong putih milik PDIP, baik di Klaten maupun Solo. Ini menandai absennya simbolik partai yang selama ini menjadi rumah politik Jokowi.

Presiden Prabowo Subianto, yang juga masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, menyampaikan dua pernyataan yang cukup menggelitik.

Pertama, saat menghadiri penutupan Kongres PSI di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta pada 20 Juli 2025, ia menyatakan simpatinya terhadap PSI. Dengan nada emosional, Prabowo menyebut bahwa PSI kini mengingatkannya pada Partai Sosialis Indonesia (PSI) era 1950-an, tempat ayahandanya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, pernah menjadi salah satu ketua. Ia memuji semangat PSI yang baru, yang menurutnya cerdas dan kuat, sebagaimana digambarkan dalam simbol gajah.

Baca Juga  Jika Selat Hormuz Ditutup, Siap-Siap Harga BBM dan Ongkir di Indonesia Melejit

Menariknya, Prabowo dalam pidatonya juga menyentil ide tentang penyatuan partai: “Apa kita bikin satu partai saja?” tanyanya, lalu menjawab sendiri, “Oh, jangan, itu tidak demokratis,” sambil menampilkan mimik yang tak mudah ditebak. Pernyataan itu terasa ambigu, antara candaan, kode, atau sindiran.

Kedua, saat berada di Desa Bentangan, Prabowo secara terbuka menyinggung absennya bendera PDIP di antara bendera-bendera partai koalisi di lokasi peluncuran koperasi. Namun, ia segera meluruskan bahwa koperasi ini bukan proyek partai politik tertentu, melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Dua peristiwa ini—Kongres PSI di Solo dan peluncuran koperasi di Klaten—tampak dirancang sebagai gerakan sinergis antara negara dan koalisi kekuasaan. Secara teknis, penyelenggaraan keduanya terkoordinasi dengan rapi di wilayah Solo Raya (meliputi Solo, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri), yang selama ini dikenal sebagai Dapil IV dan V Jawa Tengah—wilayah tradisional PDIP dengan dominasi lebih dari 65% di DPRD kabupaten/kota, sekitar 30% di DPRD provinsi, dan di atas 20% untuk DPR RI.

Sebaliknya, PSI yang sebelumnya berlogo mawar merah di tangan kiri, baru memperoleh dua kursi di DPRD Provinsi Jateng. Di perkotaan seperti Semarang dan Solo, PSI mencatat elektabilitas sekitar 4,5%, tetapi di kabupaten-kabupaten, PSI sulit menandingi PDIP yang merasa dikhianati oleh Jokowi—tokoh yang mereka anggap selama ini sebagai sesepuh, namun kini justru membesarkan partai lain.

Baca Juga  "PSI Masih Kecil, kok di Kabinet Banyak Sekali”: Sindiran Hangat Prabowo di Kongres PSI

Barangkali karena itulah PSI memutuskan meninggalkan simbol mawar dan memilih gajah: besar, kuat, dan cerdas. Simbol baru ini seolah menandai kelahiran ulang PSI sebagai kekuatan baru yang siap menantang dominasi banteng. PSI pun mulai dirancang ulang—secara logistik, strategi, dan jaringan—agar dalam 3–4 tahun ke depan siap menjadi pesaing serius.

Dukungan kekuasaan terhadap PSI juga tampak nyata. Prabowo tak hanya hadir dalam Kongres PSI, tapi juga melakukan kunjungan ke rumah Jokowi, memperlihatkan hubungan istimewa di balik layar. Pembagian posisi di kementerian, BUMN, hingga komisioner lembaga negara tampak mulai berpola. PSI mungkin belum memiliki perwakilan di DPR RI, apalagi figur kuat yang memikat massa, tetapi ia punya privilege kekuasaan yang tak dimiliki partai baru lain.

PSI, dalam banyak hal, adalah proyek politik Jokowi. Ia lahir dan dibesarkan di masa Jokowi berkuasa, mengusung isu-isu pro-perempuan dan toleransi, serta dikelola oleh jaringan anak-anak muda dengan dukungan logistik yang tidak kecil. PSI tampil sebagai partai yang memposisikan diri melawan intoleransi dan Islam politik, serta membangun aliansi dengan kekuatan merah—baik yang resmi maupun yang bergerak di bawah tanah.

Kini, dengan logo gajah, PSI tampak lebih percaya diri. Ia tidak lagi menyembunyikan arah konfrontatifnya, termasuk terhadap PDIP. Banteng mungkin sedang terluka, tapi sejarah mengajarkan bahwa ia bisa bangkit kembali. Maka pertarungan antara gajah dan banteng bukan lagi soal siapa lebih tua atau lebih besar, melainkan siapa yang lebih siap menghadapi medan politik yang terus berubah.

Baca Juga  Penguatan Layanan Kesehatan Mental Anak dan Remaja
*) Penulis: Joko Sumpeno
Kolumnis www.jakartamu.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *