Gejolak Timur Tengah dan Ancaman Serius bagi Rantai Pasok Asia Pasifik

Gejolak Timur Tengah dan Ancaman Serius bagi Rantai Pasok Asia Pasifik

MAKLUMAT – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memunculkan kekhawatiran global, terutama terkait kelangsungan rantai pasok dunia. Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jawa Timur, Sebastian Wibisono, menilai jika konflik ini terus berlanjut, dampaknya akan terasa langsung bagi Indonesia.

Ia mencotohkan saat ini terjadi ketegangan menyebabkan kenaikan harga minyak. Buntutnya berpotensi pada kelumpuhan jalur distribusi logistik internasional.

“Kalau benar-benar berlanjut, pasti akan berdampak besar. Harga pasokan sangat tergantung pada situasi geopolitik. Begitu perang pecah, saham langsung turun, suku bunga bergejolak, dan harga minyak ikut melonjak,” kata Sebastian, Selasa (2/7/2025).

Menurut Wibi, sapaan lekatnya, strategi Iran dalam konflik kali ini bukan sekadar serangan rudal, melainkan upaya sistematis untuk melemahkan ekonomi global. Salah satu skenario terburuk adalah kemungkinan penutupan Selat Hormuz, jalur vital yang mengalirkan sekitar 30 persen pasokan minyak dunia.

Dampak Terhadap Ekonomi Regional

“Kalau Selat Hormuz ditutup, harga minyak otomatis melambung. Ini baru isu, belum realisasi, tapi dampaknya sudah terasa. Efek multiplikasinya akan besar. Kita tidak hanya bicara soal sektor maritim, tapi seluruh industri akan terpengaruh. Kalau industri terganggu, rantai pasok ikut macet,” tegasnya.

Sebastian menambahkan, dalam kondisi seperti ini, pelayaran global pasti akan menyesuaikan diri. “Nilai asuransi otomatis naik, biaya freight juga pasti ikut naik,” tegasnya.

Secara tidak langsung banyak yang akan melakukan bargaining ulang dengan menyesuaikan polis asuransi. Jelas ini akan memperberat biaya logistik dan mengganggu rantai pasok secara global, termasuk di kawasan Asia Pasifik.

Baca Juga  Ketua KPU Jatim Aang Kunaifi: Berkas Pasangan Calon Khofifah-Emil Lengkap

Sebagai negara yang bergantung pada perdagangan global, Indonesia juga tidak akan luput dari dampaknya. Salah satu contoh konkret adalah potensi terganggunya pengiriman berbagai kebutuhan industri maupun pangan, sebagai penyumbang PDB nasional.

“Bahkan penerbangan penumpang ke wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi dan negara sekitarnya sempat setop. Ini indikasi yang harus diwaspadai,” ungkap pria yang juga pengusaha shipping ini.

Ia menekankan bahwa perang yang berkepanjangan justru merugikan semua pihak. Contoh konkret Israel yang baru saja melaporkan defisit neraca perdagangan pada Mei 2025. Sebelumnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025 mencapai 3,7 persen, setelah terjadinya gencatan senjata hingga pertengahan Maret.

Lebih Rapuh dari Konflik Rusia

Sebastian mengingatkan bahwa saat ini rantai pasok global masih berjalan, namun kondisinya sangat rapuh. Beruntung, eskalasi konflik saat ini masih sebatas ancaman dan beberapa sinyal positif seperti pembukaan penerbangan sipil di kawasan Teluk.

Ia membandingkan situasi tahun ini jauh lebih parah dari tahun 2022, karena dampaknya langsung ke rantai pasok di negara-negara Asia Pasifik. “Kita tahu China, Jepang, Korea, dan India, merupakan motor penggeraknya ekonomi Asia Pasikfik. Negara-negara ini sudah merasakan dampak rantai pasok global,” jelasnya.

Ia juga menyoroti potensi serapan anggaran negara-negara yang terlibat perang yang akan semakin membebani perekonomian. “Kalau konflik di Timur Tengah terus bergejolak, anggaran terkuras untuk perang. Ini memicu ketidakstabilan ekonomi kawasan,” pungkas Wibi.

Baca Juga  Mengenal Hana Catur Wahyuni, Perempuan Tangguh yang Jadi Guru Besar Manajemen Rantai Pasok Umsida

Situasi rantai pasok dunia hari ini, menurutnya, adalah permainan waktu. Jika eskalasi terus memburuk, harga logistik akan melonjak, barang terhambat, dan efeknya tidak hanya dirasakan oleh negara-negara besar, tetapi juga konsumen di dalam negeri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *