MAKLUMAT — Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP30 di Belem, Brazil, telah usai dan resmi ditutup pada 21 November 2025 lalu. Namun, harapan besar terhadap arah baru penyelamatan bumi justru kembali meredup.
Alih-alih melahirkan keputusan tegas untuk menghadapi krisis iklim, forum global tersebut dinilai semakin menjauh dari prinsip keadilan iklim yang selama ini diperjuangkan negara-negara rentan dan kelompok masyarakat sipil dunia.
GreenFaith Indonesia menilai proses negosiasi COP30 lebih tampak sebagai arena barter kepentingan dibandingkan ruang penyelamatan bumi yang semakin mendekati fase boiling point. Di tengah semakin meningkatnya bencana ekologis dan urgensi transisi energi, forum tersebut juga dinilai terlalu memberi ruang pada kepentingan industri bahan bakar fosil.
Melalui kertas posisi bertajuk “Iman untuk Keadilan Iklim” pada Senin (24/11/2025), GreenFaith Indonesia menyampaikan kegelisahannya sekaligus sikap merespons COP30 yang dinilai gagal memberikan ketegasan arah.
Dominasi Industri Fosil, Arah Perubahan Kian Kabur
GreenFaith Indonesia menilai COP30 gagal memberi arah tegas untuk menghentikan ketergantungan pada energi fosil. Fakta bahwa lebih dari 1.600 pelobi industri fosil mendapat akses resmi dalam ruang perundingan menjadi indikator kuat dominasi kepentingan korporasi.
Dengan perbandingan satu pelobi di antara setiap 25 peserta, forum global tersebut dinilai kehilangan independensi dan mandat moralnya.
Tak hanya itu, ironi makin terasa ketika Indonesia memperoleh penghargaan “Fossil of The Day” dari Climate Action Network International lantaran keterlibatan pelobi industri fosil dalam delegasi resmi negara.
Bagi GreenFaith Indonesia, tindakan itu telah “tidak hanya memperburuk diplomasi iklim nasional, tetapi juga mengkhianati nasib jutaan rakyat yang kini hidup dalam ancaman bencana ekologis berulang.”
Indonesia: Negara Rentan yang Melegitimasi Krisis
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia disebut sebagai salah satu wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim: dari tenggelamnya desa pesisir hingga meningkatnya jumlah pengungsi iklim akibat banjir rob dan cuaca ekstrem.
Data WALHI menunjukkan lebih dari 5.416 desa pesisir tenggelam pada periode 2017–2020. Ribuan nelayan juga dilaporkan meninggal setiap tahun akibat perubahan iklim yang drastis.
Namun di sisi lain, sejumlah kebijakan seperti Revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan penyusunan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dinilai justru semakin membuka ruang ekspansi tambang dan deforestasi.
Bahkan, mekanisme konsesi tambang yang dapat diberikan kepada ormas keagamaan dianggap sebagai langkah yang “menggerus nilai moral dalam menjaga alam.”
Krisis Iklim Adalah Krisis Moral dan Spiritualitas
Dalam rilisnya, GreenFaith Indonesia menegaskan bahwa krisis iklim bukan hanya soal ekonomi, sains, ataupun pembangunan, tetapi juga menyangkut dimensi spiritual dan martabat manusia.
Eksploitasi yang lahir dari paradigma antroposentris—manusia sebagai pusat segala hal—dinilai telah memutus relasi harmonis antara manusia dan bumi.
Dalam konteks COP30, organisasi lintas iman tersebut menyampaikan empat sikap penting. Pertama, terkait keadilan bagi kelompok rentan, bahwa kebijakan iklim harus memastikan adaptasi, mitigasi, dan pembiayaan loss and damage yang mudah diakses.
Kedua, transisi energi yang berkeadilan. GreenFaith Indonesia menegaskan bahwa transisi energi tidak boleh semu dan tetap bergantung pada gas, biomassa PLTU, atau ekstraksi nikel tanpa kontrol.
Ketiga, mendorong partisipasi komunitas berbasis iman, bahwa agama memiliki kekuatan moral dalam mengubah gaya hidup dan solidaritas ekologis.
Keempat, etika dan spiritualitas dalam kebijakan publik. GreenFaith mendesak agar setiap keputusan politik harus mempertimbangkan keberlanjutan alam serta masa depan generasi mendatang, bukan sekadar keuntungan ekonomi.
Iman sebagai Energi Moral untuk Masa Depan
GreenFaith Indonesia menegaskan bahwa iman harus menjadi kekuatan untuk menolak logika kapitalisme ekstraktif dan memulihkan bumi sebagai rumah bersama.
Mereka menyerukan agar keadilan iklim diarusutamakan dalam pendidikan nasional, ruang publik, hingga praktik moral agama sehari-hari.
Pada akhir pernyataannya, GreenFaith Indonesia menyampaikan pesan tegas: “Jika iman hanya diam saat bumi dirampas, maka ia kehilangan makna.”