Gunung Es di Atas Rel: Keselamatan (Makin) Terabaikan?

Gunung Es di Atas Rel: Keselamatan (Makin) Terabaikan?

MAKLUMAT — Deru roda besi yang melintas di atas rel selalu menjadi simbol kemajuan dan keteraturan. Kereta api adalah wajah modernitas yang tertib, presisi, dan terencana. Namun di balik citra itu, ada kenyataan getir yang kian menganga: meningkatnya angka kecelakaan kereta api di berbagai daerah Indonesia.

Dalam tiga bulan terakhir saja, data memperlihatkan fenomena yang tak bisa lagi dianggap kebetulan. Yang terbaru adalah anjloknya KA Purwojaya, relasi Gambir-Cilacap  di Emplasemen  Stasiun Kedunggedeh, Bekasi, Sabtu (25/10/2025). Kita bersyukur seluruh penumpang dalam kondisi selamat meski dari beberapa tayangan video di media sosial, para penumpang terutama di dalam gerbong yang anjlok tampak trauma.

Dari data yang dikumpulkan melalui penelusuran AI, PT KAI Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta mencatat 183 kasus kecelakaan di sepanjang jalur rel hanya dalam sembilan bulan pertama tahun 2025. Itu baru satu wilayah operasi. Jumlah di seluruh Indonesia barangkali jauh lebih besar. Angka ini ibarat puncak gunung es dari masalah keselamatan perkeretaapian nasional yang makin mengkhawatirkan.

Kecelakaan demi kecelakaan terjadi hampir tiap pekan. Di Subang, KA Argo Bromo Anggrek anjlok dan mengacaukan puluhan perjalanan lain. Di Padang, dua pelajar SMA tewas tertabrak kereta. Di Deli Serdang, di Bekasi, di Blitar, di Indramayu — daftar itu terus bertambah, seolah tak ada jeda. Polanya berulang: pelanggaran di perlintasan sebidang, pengendara yang nekat menerobos, atau pejalan kaki yang abai pada peringatan.

Baca Juga  Resensi Buku: Memahami Pemikiran Quraish Shihab Mengenai Perempuan

Namun yang lebih mengkhawatirkan bukan sekadar jumlahnya, melainkan rasa biasa yang menyertainya. Kecelakaan di jalur kereta kini terasa seperti berita rutin, bukan lagi alarm bahaya. Masyarakat terbiasa membaca kabar tabrakan di perlintasan tanpa palang pintu, tanpa kemudian bertanya: mengapa ini terus terjadi?

Faktor penyebabnya sudah sering dibahas. Ada kelalaian manusia (human error), ada kurangnya pengawasan di perlintasan liar, ada minimnya kesadaran keselamatan di masyarakat. Tapi membicarakan penyebab tanpa menuntaskan akar masalah hanyalah bentuk pengulangan yang melelahkan. Negara seharusnya tidak sekadar menagih kewaspadaan publik, tetapi juga menjamin sistem keselamatan yang kuat dan berkeadilan.

Selama puluhan tahun, perlintasan sebidang menjadi titik rawan yang tak kunjung diselesaikan. Ratusan titik masih dibiarkan tanpa palang pintu, tanpa penjaga, tanpa rambu yang layak. Pemerintah daerah dan KAI saling melempar tanggung jawab: siapa yang harus membangun, siapa yang harus menjaga, siapa yang harus menanggung biaya. Akibatnya, setiap hari ada nyawa yang dipertaruhkan di persimpangan antara logam dan daging, antara jadwal dan hidup manusia.

Belakangan, muncul pula spekulasi bahwa lonjakan kecelakaan ini berkaitan dengan beban utang proyek kereta cepat Whoosh yang menekan keuangan PT KAI. Tapi isu itu, sejauh ini, tak terbukti. Utang adalah masalah korporasi; kecelakaan adalah masalah operasional. Namun, kedua hal itu sama-sama menunjukkan satu hal: manajemen transportasi publik kita tengah kehilangan keseimbangan antara ambisi dan keselamatan.

Baca Juga  Campak, Ancaman Nyata bagi Generasi Emas 2045

Proyek raksasa dikejar dengan semangat, tapi perawatan jalur-jalur dasar sering luput dari perhatian. Palang pintu tanpa penjaga, rel tanpa pagar pembatas, dan warga yang melintas sembarangan adalah potret nyata dari pembangunan yang tak berpijak di bumi.

Kita tidak butuh sekadar reaksi setiap kali insiden terjadi. Kita butuh strategi nasional keselamatan perkeretaapian yang berkelanjutan — melibatkan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Edukasi harus masif, infrastruktur keselamatan harus diprioritaskan, dan evaluasi harus transparan.Sebab keselamatan tidak boleh menjadi korban dari kelalaian birokrasi.

Selama negara belum menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama, rel-rel itu akan terus menjadi saksi kelalaian kolektif kita. Kecelakaan bukanlah takdir, melainkan hasil dari sistem yang dibiarkan rapuh.

Sudah saatnya pemerintah, PT KAI, dan masyarakat berhenti saling menyalahkan — dan mulai bekerja bersama membangun disiplin, kesadaran, serta tanggung jawab. Sebab setiap perjalanan kereta semestinya berakhir dengan selamat, bukan dengan berita duka di halaman depan media online.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *