
MAKLUMAT — Tantangan pendidikan di era disrupsi menuntut guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai penjaga akhlak dan penggerak literasi digital. Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (23/4/2025), Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Prof Dr Biyanto MAg, menyampaikan bahwa guru memegang peran sentral sebagai muallim (pendidik) dalam membentuk karakter unggul generasi muda.
Mengacu pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Innama bu’itstu mu’alliman” yang kurang-lebih berarti “sesungguhnya aku diutus sebagai guru“, Biyanto menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses pembentukan akhlak mulia. Ia juga mengutip Surah Al-Qalam ayat 4 dan hadis “Li utammima makarimal akhlaq” untuk menegaskan bahwa akhlak merupakan fondasi utama dalam mendidik.
“Guru adalah segalanya, mendidik dengan hati untuk mencetak generasi hebat,” ujar pria yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya itu.
Biyanto mengingatkan bahwa pendidikan adalah proses jangka panjang yang berdampak besar, sebagaimana dikatakan William James Fulbright. Dalam konteks tersebut, ia merujuk Surah Al-Jumu’ah ayat 2 untuk menegaskan tiga misi utama guru Muhammadiyah, yakni sebagai ilmuwan, agen sosial, dan pencerah.
Sebagai ilmuwan, kata dia, guru dituntut menguasai IPTEK, termasuk bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Sebagai agen sosial, guru harus aktif di masyarakat. Sementara sebagai pencerah, guru diharapkan mampu mentransfer ilmu yang membangun kesadaran spiritual dan moral.
Media sebagai Pilar Pendidikan Baru
Biyanto menyoroti media sebagai pilar pendidikan baru di samping keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial. Dengan 98% milenial dan Gen Z aktif di internet, ia mengingatkan bahwa media dapat membentuk karakter jika tidak disertai bimbingan yang tepat.
“Guru dan orang tua harus membimbing anak agar cerdas bermedia, memilih konten positif,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi fenomena pergeseran otoritas keagamaan, di mana informasi dari media sosial lebih dipercaya ketimbang ulama atau guru. Menurutnya, hal ini melahirkan figur “mendadak ustaz” tanpa proses belajar yang benar.
Pendidikan Spiritual dan Akhlak
Dalam upaya menjaga akhlak, Biyanto menekankan pentingnya pendidikan spiritual dan tarbiyatul akhlaq seperti kejujuran dan rasa syukur. Guru, menurutnya, harus menjadi teladan, terlebih di tengah maraknya perilaku negatif tokoh publik.
Biyanto turut mengutip nasihat Malik Fajar, “Jadi orang Muhammadiyah harus luas dan luwes,” untuk mendorong sikap terbuka dan inklusif dalam menyikapi perbedaan. Ia juga menyerukan agar guru Muhammadiyah mampu mencetak ulama intelektual yang kuat secara keagamaan dan keilmuan, sesuai visi Kiai Ahmad Dahlan.
Mengutip Ali bin Abi Thalib, “Jangan mendidik anak dengan cara lama, karena mereka hidup di zaman yang berbeda,” Biyanto mendorong guru untuk mengajarkan keterampilan baru seperti literasi digital dan kecakapan masa depan, termasuk profesi modern seperti content creator. Di saat yang sama, ia mengingatkan profesi lama seperti penerjemah mulai tergeser akibat perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Dalam kesempatan itu, Biyanto mengapresiasi tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat ala Abdul Mu’ti—dari bangun pagi, beribadah, belajar, hingga bermasyarakat—sebagai praktik pembentukan karakter melalui habituasi.
Dengan menjaga akhlak dan menguasai teknologi, guru Muhammadiyah diyakini akan tetap menjadi pencerah peradaban dan pembentuk generasi unggul di tengah era yang terus berubah.