MAKLUMAT — Dualisme kepemimpinan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak menghalangi KH Yahya Cholil Staquf untuk tampil sebagai wakil resmi organisasi. Pemerintah tetap mengundangnya dalam pertemuan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (10/12). Kehadirannya menegaskan bahwa pemerintah masih menganggapnya sebagai Ketua Umum PBNU yang sah.
Dalam forum tersebut, Gus Yahya menyampaikan sejumlah catatan penting mengenai arah reformasi Polri. Ia menilai praktik kepolisian masih mengalami persoalan serius dalam menjamin kepastian hukum.
“Praktik kepolisian kita masih menyisakan banyak hal yang plastis dan ringkih,” ujar Gus Yahya seperti dilansir NU Online.
Ia menekankan bahwa kelenturan itu muncul pada dua sisi, yaitu aturan hukum dan standar perilaku aparat. Menurutnya, kondisi tersebut membuat kepastian hukum sering melemah. “Masalah hukum sering bisa ditawar, dan praktik tawar-menawar dianggap lumrah. Situasi seperti ini tumbuh karena praktik kepolisian yang serba plastis,” katanya.
Ia juga menilai persoalan tersebut tidak hanya lahir dari kultur kepolisian, tetapi berkembang melalui relasi timbal balik antara aparat dan masyarakat. Karena itu, ia mendorong strategi pembenahan yang dapat membangun budaya hukum yang lebih tegas dan tidak mudah berkompromi.
“Kita perlu membuat masyarakat menerima hukum yang lebih saklek, bukan terus-menerus mengandalkan penyelesaian damai,” ujarnya.
Gus Yahya selanjutnya meminta pemerintah meninjau ulang aturan terkait diskresi kepolisian. Ia menilai sejumlah praktik intelijen atau tajassus masih bergerak terlalu luas dan memerlukan batas yang tegas.
“Kita perlu memperjelas yurisdiksi, tugas, dan definisi keamanan. Kondisinya masih terlalu plastis dan bisa bergerak ke mana saja,” kata dia.
Dalam pertemuan itu, Gus Yahya hadir bersama Sekretaris Jenderal PBNU, H. Amin Said Husni. Sejumlah tokoh lintas agama juga mengikuti pertemuan tersebut, mulai dari perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Matakin, hingga perwakilan umat Buddha.***