KETUA Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menyebut kontestasi pemilihan umum (Pemilu), seperti halnya pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 tak ubahnya pertandingan sepak bola. Jika wasitnya adil dan jujur, kemudian para pemainnya menjunjung tinggi sportivitas, bangsa Indonesia ini tentu bisa lebih dewasa dan legawa.
“Tapi, sering penonton itu ribut karena wasit tidak adil, permainannya kotor, kemudian ada mafia, dan seterusnya,” ujarnya di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Sabtu (11/11).
Artinya, dalam konteks pemilu, para calon harus sportif dalam berkompetisi. Selain itu, para penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, mesti bersikap adil dan jujur.
Haedar Nashir hadir dalam agenda “Mengawal Politik Kebangsaan Muhammadiyah” yang diadakan PWM Jatim dalam rangka Milad Ke-111 Muhammadiyah. Selain Haedar, acara tersebut juga mengundang Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd dan peneliti utama politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Dr Siti Zuhro MA.
Terkait arah politik Muhammadiyah, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah menjunjung politik kebangsaan. Politik kebangsaan diperlukan agar pilpres berjalan luber, jurdil, dan bermartabat sesuai dengan konstitusi.
“Siapa pun yang menang atau kalah, itulah kontestasi. Yang menang jangan sampai menyalahgunakan kekuasaan dan euforia terlalu berlebihan. Sebaliknya, yang kalah jangan sampai jatuh diri dan melakukan hal-hal yang tidak perlu,” tegasnya.
Haedar juga menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak menganut politik praktis. Meskipun demikian, menurut Haedar, melalui khitahnya sejatinya Muhammadiyah juga tidak anti-politik praktis.
Karena itu, jika ada kader yang ingin terjun ke dunia politik, Muhammadiyah mempersilakan lewat jalur yang benar, yaitu partai politik.
Haedar melanjutkan, Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah menetapkan jalan non-politik praktis. Muhammadiyah juga tidak akan menjalankan fungsi sebagai organisasi politik.
Pasalnya, Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang bergerak dalam pembinaan masyarakat dan pembangunan bangsa.
“Itulah jalan yang dipilih Muhammadiyah dari periode ke periode sebagai wujud ijtihad politik,” tegas guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.
Salah satu politik kebangsaan itu diterapkan dalam wujud dialog publik capres-cawapres yang dilakukan PP Muhammadiyah.
Haedar menjelaskan, Muhammadiyah rencananya melakukan uji publik capres-cawapres di tiga kampus. Yakni, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 21, 22, dan 23 November 2023.
Capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan menjalani uji publik di UM Surabaya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di UMS, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di UMJ.
“Uji publik ini merupakan langkah elegan Muhammadiyah. Kami tidak ingin ada politik perpecahan atau juga beli kucing dalam karung. Kita terbuka untuk dialog publik,” terangnya.
“Maka, harapan kami para capres dan cawapres juga legawa untuk hadir. Kami menyediakan forum elegan, tidak ada pemihakan pasangan mana pun. Itu garis organisasi yang tidak boleh ditawar lagi,” imbuhnya.
Haedar sekali lagi mengingatkan bahwa Muhammadiyah memberikan keleluasaan kepada seluruh warganya maupun masyarakat umum untuk memilih sesuai dengan tanggung jawab, kecerdasan, kearifan, dan hati nurani demi kemaslahatan bangsa.
“Muhammadiyah tidak pernah mengarahkan pilihan ke calon tertentu,” tandasnya.(*)
Reporter: Achmad San
Editor: Aan Hariyanto