MAKLUMAT — Setiap 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Tanggal itu merujuk pada pidato bersejarah Bung Karno di sidang BPUPKI 1945, di mana untuk pertama kalinya lima sila sebagai dasar negara dirumuskan dan diusulkan.
Momentum itu kerap dikenang dengan pidato-pidato seremonial, upacara bendera, dan refleksi simbolik tentang pentingnya Pancasila. Namun, di balik perayaan itu, Pancasila terus berhadapan dengan tantangan ideologis, sosial, dan praksis yang tak kunjung selesai.
Bila ditilik secara historis, Pancasila lahir dalam situasi transisi yang pelik. Indonesia tengah bersiap merdeka, tapi masih harus menentukan identitas politik dan dasar filosofisnya. Bung Karno dengan cerdas merumuskan lima prinsip — kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan — yang kemudian dirumuskan ulang oleh Panitia Sembilan menjadi versi final 18 Agustus 1945. Pancasila lahir bukan dari ruang kosong, tapi dari dialektika sejarah bangsa yang dipenuhi perjumpaan peradaban dan perbedaan ideologi.
Sejarawan Anthony Reid menyebut Indonesia sebagai “a plural society from the start” — masyarakat majemuk sejak awal — dan di situlah Pancasila menemukan relevansinya. Pancasila tidak sekadar dasar negara, tetapi juga konsensus politik dan kultural atas keberagaman yang tidak bisa dipaksakan ke dalam satu bentuk tunggal.
Sosiologi Ideologi: Pancasila di Ruang Publik
Secara sosiologis, Pancasila telah lama menjadi simbol pemersatu yang dipertentangkan tafsirnya. Dalam masa Orde Baru, Pancasila direduksi menjadi alat kontrol ideologi tunggal, dengan tafsir resmi yang harus diikuti melalui Penataran P4. Nilai-nilai Pancasila dijauhkan dari praksis sosialnya, dan lebih banyak berhenti di ruang kelas serta podium upacara.
Pasca-Reformasi, Pancasila kembali dicoba dihidupkan sebagai nilai yang inklusif, tetapi problem baru muncul. Tafsir Pancasila di ruang publik sering kali dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu, bahkan digunakan untuk menstigma kelompok yang berbeda pendapat. Hal ini sejalan dengan analisis sosiolog Ignas Kleden bahwa sebuah ideologi bisa berfungsi sebagai instrumen integrasi, tetapi juga bisa berubah menjadi alat eksklusivisme ketika dimonopoli tafsirnya.
Tantangan terbesar saat ini adalah membumikan Pancasila di tengah masyarakat yang mengalami krisis solidaritas sosial, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya polarisasi politik dan agama. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sering kali tertinggal di belakang pertumbuhan ekonomi yang tak merata. Begitu pula sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” diuji oleh maraknya intoleransi dan diskriminasi berbasis agama.
Antropologi Simbolik: Pancasila sebagai Mitologi Kebangsaan
Dari perspektif antropologi simbolik, Pancasila bisa dibaca sebagai mitologi kebangsaan modern. Seperti halnya mitos Yunani atau legenda Nusantara, Pancasila hadir bukan hanya sebagai norma hukum, tetapi juga sebagai simbol moral dan identitas bersama. Ritual upacara 1 Juni setiap tahun, pidato kenegaraan, hingga mural-mural bertema Pancasila di dinding kampung, adalah bentuk dari civil religion yang mengikat warga negara dalam rasa kebangsaan.
Antropolog Clifford Geertz menyebut ini sebagai theatre state, di mana simbol-simbol negara dipentaskan dalam ritual-ritual untuk meneguhkan legitimasi kekuasaan dan solidaritas sosial. Namun, mitologi ini rentan kehilangan makna ketika praktik sosialnya tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diusungnya. Saat hukum tajam ke bawah, saat kekuasaan tak berpihak pada rakyat kecil, Pancasila hanya tinggal mitos tanpa praksis.
Refleksi Kritis Realitis
Peringatan 1 Juni semestinya menjadi momentum evaluasi, bukan sekadar seremoni. Pertanyaan yang harus kita ajukan: seberapa jauh Pancasila benar-benar hadir dalam kebijakan publik, dalam relasi sosial warga negara, dan dalam budaya politik kita? Apakah Pancasila masih menjadi panduan etika berbangsa, atau sekadar retorika tanpa daya guna?
Sudah waktunya kita berhenti memitoskan Pancasila dalam ruang seremoni, dan mulai menghidupkannya dalam realitas sosial. Keadilan sosial, musyawarah mufakat, penghargaan terhadap kemanusiaan, dan keberagaman bukanlah slogan, melainkan prinsip hidup yang harus diwujudkan. Pancasila tidak perlu dipertuhankan atau disaktikan, cukup dijalankan dengan jujur, adil, dan konsisten.
Karena sesungguhnya, Pancasila yang hidup bukan yang sakti, melainkan yang membumi.***