MAKLUMAT — Setiap tanggal 1 Juni, Bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Tahun 2025 ini, momen tersebut kembali menyapa dalam suasana global yang penuh gejolak dan tantangan domestik yang belum juga reda. Meski selalu diucapkan dengan lantang dan penuh seremonial, pertanyaannya tetap menggantung di udara: sudahkah kita betul-betul memahami makna terdalam dari Pancasila? Lebih dari itu, sudahkah kita mengkritisinya dalam konteks kekinian?
Pancasila, sebagai dasar negara, bukan hanya sekadar simbol atau dokumen sejarah. Ia adalah jiwa konstitusional bangsa, fondasi moral, dan cita-cita kolektif yang menyatukan keragaman suku, agama, budaya, dan kepentingan. Namun, makna itu sering kali tenggelam di tengah retorika politik, formalisme upacara, dan dangkalnya pendidikan kewarganegaraan.
Pada tahun 2025 ini, ketika dunia diliputi gelombang populisme, disrupsi digital, serta krisis kepercayaan terhadap institusi publik, Pancasila harus lebih dari sekadar dikenang—ia harus dikaji ulang secara kritis dan dijadikan alat refleksi nasional. Kita perlu bertanya: bagaimana Pancasila menjawab tantangan digitalisasi yang memperlebar jurang sosial? Apakah nilai-nilai Pancasila betul-betul hidup dalam kebijakan negara? Atau justru hanya menjadi perisai untuk mempertahankan kekuasaan?

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, masih menjadi tantangan besar dalam praktiknya. Toleransi antarumat beragama masih rapuh. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih terjadi dalam bentuk-bentuk halus maupun kasar. Ini menunjukkan bahwa nilai Ketuhanan belum sepenuhnya menjelma menjadi penghargaan terhadap keberagaman iman, melainkan justru kadang dijadikan alat hegemoni.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, semakin diuji oleh meningkatnya ketimpangan sosial dan perlakuan tidak adil terhadap masyarakat kelas bawah. Program-program bantuan sosial masih belum menyentuh akar masalah struktural. Pemberantasan korupsi, sebagai bagian dari keadaban, justru melemah sejak lembaga-lembaga antirasuah dikerdilkan oleh kepentingan politik.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, hari ini menghadapi ancaman serius dari polarisasi sosial akibat fanatisme politik dan ideologis. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang komunikasi lintas batas, justru menjadi medan perang identitas. Persatuan tampak rapuh, digerogoti oleh hoaks, ujaran kebencian, dan algoritma digital yang mempersempit perspektif.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, tampak mengalami delegitimasi di tengah ketidakpercayaan terhadap proses politik. Partisipasi rakyat seringkali berhenti di bilik suara, bukan pada ranah perumusan kebijakan. Demokrasi prosedural belum berkembang menjadi demokrasi substansial yang menjamin keterlibatan rakyat secara bermakna.
Dan akhirnya, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, belum kunjung terwujud secara nyata. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak masih jauh dari merata. Daerah-daerah terpencil masih berjuang keras mendapatkan hak-hak dasar mereka. Apakah kita masih akan menyebut ini sebagai keadilan?
Pada titik inilah kita perlu menghidupkan kembali semangat kritis terhadap Pancasila. Bukan untuk menggugat keabsahannya, melainkan untuk membawanya turun dari langit konsep ke bumi kenyataan. Sebagaimana Bung Karno menggali nilai-nilai Pancasila dari bumi Indonesia, tugas generasi sekarang adalah menanamkannya kembali di ladang kontemporer yang penuh badai.
Kita perlu menghindari dua ekstrem dalam melihat Pancasila. Pertama adalah fanatisme simbolik yang menjadikan Pancasila sekadar alat peneguhan kekuasaan tanpa jiwa. Kedua adalah sikap sinis yang menganggap Pancasila telah mati, hanya karena implementasinya sering mengecewakan. Pancasila tidak mati. Yang kerap mati adalah komitmen kita untuk menjadikannya roh hidup dalam kebijakan dan kehidupan sosial.
Sebagai anak bangsa di tahun 2025, kita dihadapkan pada tanggung jawab besar: menyelamatkan Pancasila dari jebakan formalitas dan menjadikannya pedoman etika di tengah modernitas yang serba cepat dan individualistis. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, nilai-nilai Pancasila harus menjelma menjadi algoritma sosial yang mengedepankan keadilan, empati, dan gotong royong.
Di sinilah peran pendidikan, media, komunitas, dan pemerintah diuji. Pendidikan Pancasila tidak bisa lagi diajarkan sekadar lewat hafalan. Ia harus ditransformasikan menjadi praktik nyata dalam keseharian. Media pun tidak cukup menjadi corong narasi nasionalisme, tapi juga harus menjadi arena kritis yang menyuarakan ketimpangan, ketidakadilan, dan tantangan terhadap implementasi nilai-nilai luhur.
Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025 harus menjadi momentum introspeksi nasional. Bukan sekadar untuk mengenang sejarah, tapi untuk membongkar ulang bagaimana sejarah itu hidup dalam tubuh bangsa hari ini. Kita harus berani jujur: Pancasila tidak membutuhkan pujian, tapi pembuktian.
Mari kita jadikan tahun ini sebagai titik balik. Mari berhenti menjadikan Pancasila hanya sebagai materi pidato kenegaraan. Mari kita hidupkan ia dalam tindakan. Dalam kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dalam pelayanan publik yang berkeadilan. Dalam ruang digital yang menghargai keberagaman. Dalam keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan seluruh sendi kehidupan.
Karena pada akhirnya, Pancasila bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah milik masa depan. Dan masa depan Indonesia tergantung pada seberapa dalam dan kritis kita memaknainya hari ini.