Hari Pahlawan dan Merawat Ingatan Jalan Perjuangan

Hari Pahlawan dan Merawat Ingatan Jalan Perjuangan

MAKLUMAT – Setiap bangsa hidup dari ingatannya. Bila ingatan itu pudar, yang tersisa hanyalah keramaian tanpa arah. Seperti tubuh yang berjalan tanpa jiwa. Hari Pahlawan datang tiap tahun untuk menegur kita agar tidak lupa bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari nyala yang dijaga dalam dada manusia. Dan tugas menjaga nyala itu, kini, ada pula di tangan media.

Penyiaran hari ini memegang peran yang dulu dijalankan oleh api semangat di Surabaya. Jalan cadas menyampaikan suara, menyalakan kesadaran, mengikat bangsa agar tetap percaya pada cita-citanya. Tapi berbeda dengan masa lalu, medan perangnya kini tak lagi di jalan-jalan, melainkan di ruang siar yang kadang penuh kabar, tapi miskin makna.

Bila dahulu pahlawan berteriak menolak penjajahan, maka kini tugas penyiaran adalah menolak kelupaan. Sebab bangsa yang lupa asalnya akan mudah diombang-ambingkan oleh zaman. Kita bisa membangun gedung-gedung tinggi, menara pemancar yang menjangkau seluruh negeri, tapi bila siaran yang dipancarkan tak lagi menumbuhkan kesadaran, sesungguhnya yang kita bangun hanyalah kebisingan yang megah.

Sering kali kita melihat tayangan tentang pahlawan yang dibungkus dengan efek dramatis dan musik gagah. Tapi nilai-nilainya jarang hadir dengan jujur. Kita lupa bahwa kepahlawanan bukanlah tentang perang, melainkan tentang keberanian untuk setia pada kebenaran. Maka, tugas lembaga penyiaran bukan sekadar mengulang kisah sejarah, melainkan menghidupkan roh dari kisah itu. Langkah roh yang mengajarkan kejujuran, kesetiaan, dan pengorbanan.

Baca Juga  Kebaikan di Dunia Politik
Aan Haryono, Komisioner KPID Jatim. FOTO: dok. pribadi

Media, dalam arti terdalamnya, adalah ruang dialog bangsa dengan dirinya sendiri. Di sanalah rakyat bertanya, merenung, dan memahami apa arti menjadi Indonesia. Bila ruang itu hanya diisi tawa yang dangkal dan sensasi yang cepat hilang, maka bangsa ini pun perlahan akan kehilangan bahasa untuk berbicara dengan hatinya sendiri.

Hari Pahlawan adalah kesempatan untuk bertanya kembali, apakah siaran kita hari ini masih menumbuhkan rasa cinta pada negeri? Apakah anak-anak yang menonton televisi masih bisa belajar tentang keberanian, tentang tanggung jawab, tentang kebersamaan? Ataukah mereka hanya belajar tentang kepopuleran, ketenaran, dan kemenangan tanpa perjuangan?

Di tengah gempuran disinformasi dan kelelahan moral, para pekerja siar sejatinya adalah pahlawan literasi media. Mereka yang memilih menyiarkan pengetahuan, bukan kebohongan. Mereka yang menghidupkan cahaya akal budi di antara gelapnya sensasi. Mereka yang menyalakan semangat bangsa bukan dengan pekik, tapi dengan narasi yang mencerahkan.

Bagi bangsa ini, penyiaran adalah ruang publik yang paling luas. Maka setiap tayangan yang lahir darinya, sesungguhnya adalah pantulan jiwa masyarakatnya. Bila yang disiarkan adalah nilai-nilai kemanusiaan, maka bangsa ini akan tumbuh dengan jiwa yang besar. Tetapi bila yang disiarkan hanyalah keributan, maka kita sedang memelihara kebingungan kolektif.

Surabaya memberi kita teladan, sebuah kota yang membakar dirinya agar bangsa tetap hidup. Hari ini, kebakaran itu seharusnya kita jaga dalam bentuk lain, bukan api yang menghanguskan, tetapi api kesadaran yang menghangatkan. Di ruang siar, nyala itu bisa muncul lewat tayangan sejarah yang hidup, lewat cerita rakyat yang dihidupkan kembali, lewat dialog yang mempertemukan generasi muda dengan nilai-nilai perjuangan.

Baca Juga  Patologi Peradaban

Menyiarkan ingatan bukan berarti menengok masa lalu dengan air mata, tetapi menatap masa depan dengan kebijaksanaan. Dan menyuarakan bangsa bukan hanya tentang patriotisme yang lantang, tetapi tentang membangun nalar yang jernih, empati yang luas, dan kesadaran yang dalam bahwa Indonesia tidak akan pernah selesai menjadi dirinya tanpa kebenaran yang disiarkan terus-menerus.

Maka, bila penyiaran hari ini mampu menyalakan kembali nilai-nilai seperti kejujuran, kebersamaan, dan cinta tanah air, maka di dalam setiap frekuensi yang bergetar, sesungguhnya kita sedang mendengar gema perjuangan para pahlawan. Bukan dari meriam dan senapan, melainkan dari kata-kata dan suara yang mengajarkan manusia untuk tetap menjadi manusia. Panjang umur kehidupan.

*) Penulis: Aan Haryono
Komisioner KPID Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *