Hikmah Peristiwa G30S/PKI: Alarm Sejarah, Iman, dan Pancasila

Hikmah Peristiwa G30S/PKI: Alarm Sejarah, Iman, dan Pancasila

MAKLUMATTragedi G30S/PKI 1965 bukan hanya noda hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia adalah peringatan keras yang tak boleh dilupakan: ideologi yang menolak keberadaan Tuhan, meremehkan agama, dan menghalalkan segala cara demi kekuasaan, pada akhirnya hanya membawa kehancuran.

Penulis: Anang Dony Irawan

Komunisme hadir dengan janji manis: kesejahteraan, keadilan, dan kesetaraan. Namun sejarah membuktikan, janji itu hanyalah kedok semata. Yang tersisa adalah pengkhianatan, darah, dan penderitaan. Mereka berbicara tentang pembebasan rakyat kecil, tapi yang dilakukan adalah penculikan, pembunuhan, dan upaya kudeta terhadap negara sendiri.

Pada masa itu, umat Islam, bersama komponen bangsa lainnya, berdiri tegak di barisan terdepan. Ulama, santri, dan rakyat kecil bahu-membahu melawan ancaman ideologi yang menolak Tuhan. Jika bukan karena pertolongan Allah SWT, serta keberanian rakyat untuk menjaga iman dan persatuan, Indonesia mungkin sudah lama kehilangan jati dirinya.

Bahaya laten komunisme tidak pernah benar-benar padam. Ia seperti api dalam sekam: tampak redup, tetapi tetap menyala. Dalam situasi bangsa yang rapuh, ia bisa bangkit kembali dengan wajah baru, entah melalui propaganda budaya, wacana akademis, atau isu-isu sosial ekonomi. Karena itu, umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia wajib waspada.

Tragedi di tahun 1965 adalah alarm sejarah. Jika iman goyah, jika persatuan pecah, jika sejarah diabaikan, maka jalan bagi ideologi tanpa Tuhan bisa kembali terbuka.

Baca Juga  Ketua LHKP PWM Jatim: Hari Raya Momen Tepat Merekat Kembali Persatuan

Sejumlah ahli menegaskan betapa besar ancaman komunisme terhadap bangsa. Menurut Nugroho Notosusanto (1995), G30S/PKI adalah bentuk pengkhianatan ideologis yang ingin meruntuhkan Pancasila. Karl Popper (1945) juga mengingatkan bahwa ideologi totaliter, termasuk komunisme, berbahaya karena menafikan kebebasan individu dan menyingkirkan nilai moral demi kepentingan politik.

Baharudin Lopa (1999) menegaskan, komunisme bertentangan secara fundamental dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa pengakuan pada Tuhan, dasar kehidupan bangsa akan rapuh. Hal ini ditegaskan pula oleh Nurcholish Madjid (1992), bahwa iman adalah benteng moral manusia agar tidak terjerumus pada kesewenang-wenangan.

Jimly Asshiddiqie (2006) menekankan pentingnya persatuan bangsa. Ketika bangsa terpecah, ideologi asing mudah menyusup. Sementara Kuntowijoyo (2003) mengingatkan bahwa sejarah harus dibaca secara kritis dan dijadikan pedoman moral.

Pancasila sebagai Benteng Bangsa

Dalam konteks ini, Pancasila bukan hanya dasar negara, melainkan juga benteng ideologis yang mampu menjaga Indonesia dari rongrongan komunisme.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi tameng utama dari ateisme komunisme.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menolak kekerasan dan kebiadaban yang dilegalkan oleh doktrin komunis.

3. Persatuan Indonesia adalah jawaban terhadap strategi divide et impera yang digunakan untuk melemahkan bangsa.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menjadi tandingan terhadap diktator proletariat yang dipaksakan PKI.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah cita-cita yang diperjuangkan dengan jalan bermoral, bukan dengan kekerasan berdarah.

Baca Juga  Muhammadiyah–NU: Menangkal Provokasi, Merawat Kebangsaan

Dengan Pancasila, bangsa Indonesia memiliki fondasi yang jelas: pembangunan keadilan dan kesejahteraan hanya sah bila berakar pada iman, persatuan, dan musyawarah. Inilah yang membuat komunisme tidak pernah menemukan tempat di negeri ini.

 Sejarah, Iman, dan Persatuan

Al-Qur’an telah menegaskan: “Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap” (QS. Al-Isra: 81). Fakta sejarah membuktikan, meski kebatilan sempat berkuasa, akhirnya kebenaran yang menang.

Dari peristiwa G30S/PKI, kita belajar empat hal penting: iman adalah benteng, persatuan adalah kunci, sejarah adalah cermin, dan Pancasila adalah pagar ideologis bangsa. Tanpa keempatnya, Indonesia akan mudah diguncang oleh ideologi asing yang ingin menghancurkan jati diri kita.

G30S/PKI bukan sekadar kisah lama, tetapi peringatan abadi: jangan pernah jauh dari Allah SWT, jangan goyah dalam iman, jangan biarkan persatuan retak, dan jangan sekali-kali meninggalkan Pancasila sebagai benteng bangsa.***

*) Penulis: Anang Dony Irawan
Penikmat Sejarah; Wakil Ketua PCM Sambikerep; Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya; Tapak Suci Pimda 006 Kota Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *