Hujan Beracun Mengintai Ekosistem Kita

Hujan Beracun Mengintai Ekosistem Kita

MAKLUMAT — Jakarta, kota yang sibuk dan tak kenal lelah itu selalu menyimpan masalah yang tak pernah usai. Langitnya kini tidak lagi meneteskan air yang memberi keberkahan. Air hujan yang sebelumnya dapat membersihkan debu dan penyejuk panasnya kota kini terkontaminasi oleh serpihan mikroplastik yang kecil, ringan, tak terlihat, dan berbahaya.

Penulis: Salman A. Ridwan

Hujan itu telah mengantarkan kita pada renungan panjang. Tentang kita yang ingin terlihat maju tapi miskin kepedulian. Tentang kita yang ingin serba cepat tapi picik saat mencapai keinginan. Kita lupa pada air hujan yang menetes adalah saksi nyata dari konsumsi kita yang terlalu berlebihan. Tentang plastik yang diproduksi tanpa kenal batas dan sampahnya yang kita buang dengan sembarangan.

Menurut BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), sejak tahun 2022 air hujan di Jakarta telah menunjukkan adanya mikroplastik. Partikel kecil itu muncul dari serat sintesis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, dan degradasi plastik di ruang terbuka (www.brin.go.id).

Dari kabar itu, kita bertanya: apakah hujan saat ini sedang memberi tanda yang mengkhawatirkan bagi masa depan alam dan kehidupan kita?

Melalui hujan, kita sebenarnya sedang diberi teguran oleh bumi dan langit, agar kita selalu sadar bahwa setiap tindakan yang kita perbuat selalu meninggalkan bekas pada alam yang kita tinggali.

Sebab turunnya hujan yang tercemar ini tentu bukan karena langit. Melainkan sebuah konsekuensi dari aktivitas kita yang tidak terhitung jumlahnya. Dari konsumsi yang berlebihan, produksi plastik yang tanpa batas, dan sampah yang dibuang sembarangan, tanpa kasat mata ternyata telah menerbangkan serpihan kecil plastik ke udara. Ia menggumpal menjadi polusi, mengendap jadi awan, lalu turun kembali menjadi hujan, tapi airnya tak lagi murni.

Baca Juga  Hujan Air Bercampur Partikel Halus: Alarm Baru Hujan Mikroplastik di 18 Kota Indonesia

Hujan yang tercemar itu adalah bentuk perantara dalam catatan sejarah manusia. Untuk mengingatkan kembali pada modernitas yang selalu memberi kenikmatan sesaat, tapi sangat berdampak pada krisis ekologi yang benar-benar nyata.

Plastik dalam Lintasan Sejarah

Pertengahan abad ke-19 adalah jejak langkah pertama ditemukannya plastik. Penemuan ini ditandai dengan ditemukannya plastik semi-sintesis oleh Alexander Parkes. Lalu berlanjut pada penemuan seluloid oleh John Wesley Hyatt sebagai bahan dasar pembuatannya. Baru di awal abad ke-20 Leo Baekeland, menemukan bakelite sebagai bahan pembuatan plastik sintesis pertama. Pada abad ke-20 inilah produksi plastik mulai diproduksi secara massal.

Penemuan plastik lalu mendorong manusia pada pesona kepraktisannya. Bentuknya yang ringan, murah, dan tahan lama, telah menunjukkan bukti bahwa plastik hadir sebagai produk modernitas yang memiliki janji yang serba mudah. Namun seiring perkembangannya, kini plastik tidak lagi hanya menjadi alat kebutuhan, terapi menjadi alat ketergantungan manusia.

Sampai hari ini, dampak penggunaan plastik yang berakibat pada maraknya sampah plastik telah menjadi bahan yang patut direnungkan. Karena sisa-sisa pemakaian plastik yang kita konsumsi ternyata tidak hilang begitu saja, malah menjadi bagian yang tidak lepas dari bumi yang menjadi tempat tinggal kita bersama. Mikroplastik yang sebelumnya tidak terlihat, kini telah hadir dalam hujan, sungai, tanah, bahkan makanan yang kita konsumsi.

Kemunduran Ekologi

Baca Juga  Alasan Mengapa Kementerian Pendidikan Tinggi Perlu Dibentuk

Fenomena mikroplastik tentu telah membawa ancaman serius bagi permasalahan ekologi kita. Ia bukan sekedar benda mati, namun dapat menyerap logam, dan zat-zat tambahan yang berbahaya. Bahkan, ketika partikel itu masuk ke dalam rantai makanan, dari plankton, ikan, kelompok unggas, dan manusia.

Salah satu yang perlu diperhatikan dari bahayanya mikroplastik ketika ia masuk ke dalam tubuh manusia. Melalui riset ilmiah yang dipublikasikan oleh Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, mikroplastik terdeteksi memiliki potensi yang menyebabkan gangguan metabolisme, gangguan saluran pencernaan, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, kanker, gangguan reproduksi, dan mudah lupa (doi.org/10.14710/).

Permasalahan mikroplastik tentu membawa kemunduran bagi ekosistem lingkungan. Alam yang dulunya menjadi sumber kehidupan, kini telah menanggung beban yang berat karena tangan-tangan manusia. Ketika alam dirusak, maka setiap makhluk hidup yang tinggal di dalamnya pun akan menjadi rusak. Termasuk manusia. Mikroplastik adalah racun baru yang menyelinap ke semua sistem ekosistem kita.

Renungan dari Hujan Mikroplastik

Ketika hujan menurunkan mikroplastik, di situ sebenarnya kita sedang bercermin. Yang bertanya pada diri kita: apakah ini takdir zaman? Atau hasil dari kesombongan kita yang sering tak terkendalikan?

Air hujan yang terkontaminasi ini sebenarnya adalah peringatan yang bukan hanya datang dari langit, tetapi juga dari bumi. Apa yang kita banggakan dari peradaban modern selama ini: seperti kenyamanan, pakaian, kemasan, dan kendaraan ternyata telah menjadi beban bagi bumi kepada langit dalam menurunkan hujan. Ini tidak hanya untuk Jakarta, tetapi juga untuk tempat-tempat yang lainnya.

Baca Juga  Menjaga Keanekaragaman Hayati Lewat Riset dan Kolaborasi

Sudah sejak lama, Henry David Thoreau (1817-1862) mengingatkan kepada kita melalui pemikirannya, bahwa keberadaan kita dengan alam adalah bagian yang tak terpisahkan. Ia menegaskan, keberadaan kita di bumi ini bukan semata-mata untuk menguasai alam dengan cara yang semena-mena. Karena alam bukan sekadar materi yang harus selalu dimanfaatkan dan menjadi panggung tempat manusia berkembang. Alam adalah tempat hidup bersama. Bukan sebagai objek yang harus ditundukkan.

Harapan itu Belum Mati

Namun selama waktu masih berjalan, di situ kita masih juga memiliki harapan. Setiap botol-botol plastik yang di daur ulang, setiap kantong plastik yang tidak dibuang sembarangan, dan setiap inovasi ramah lingkungan adalah cara-cara yang dapat menghidupkan kembali harapan agar tetes air hujan kembali murni.

Dengan penguatan pendidikan lingkungan, regulasi pengelolaan sampah, inovasi teknologi ramah lingkungan, dan perubahan gaya hidup adalah langkah nyata yang harus diwujudkan, dan perlu dimulai hari ini. Jika kita melakukannya, harapan itu dapat dinikmati oleh anak-cucu kita agar kelak dapat menikmati hujan yang tak lagi membawa penyesalan, tapi membawa kehidupan.

Hujan mikroplastik di Jakarta bukanlah sekadar fenomena ilmiah. Ia adalah renungan tentang kita (manusia) dengan alam. Tentang tanggung jawab dan pilihan yang kita perbuat sehari-hari.

Hujan mikroplastik di Jakarta menjadi pengingat, bahwa sejarah manusia harus mampu belajar dari bumi dan langit yang kini sedang kecewa pada kita yang selalu lupa.***

*) Penulis:  Salman A. Ridwan
Guru Sejarah SMA, Mantan Ketua Cabang IMM Jakarta Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *