Site icon Maklumat untuk Umat

Hutan: Iklan dan Bacaan

Ilustrasi hutan nusantara. Foto dibuat SORA

MAKLUMAT — Hutan itu iklan. Sejak puluhan tahun lalu, pemerintah dan pelbagai pihak biasa membuat iklan mengandung pesan-pesan ajakan melestarikan. Iklan-iklan bersekutu dengan buku-buku pelajaran. Pada suatu masa, murid-murid paling ingat istilah “reboisasi” bila belajar tentang hutan. Mereka pun pernah mendapat kesedihan gara-gara bencana dipengaruhi “hutan gundul”. Pemahaman hutan sulit bertambah, dan benar bila cuma mengikuti iklan dan buku pelajaran.

Penulis:Bandung Nawardi

Pidato-pidato menteri dan para pejabat pun susah memberi kesadaran bermutu agar kita bertanggung jawab terhadap hutan. Acara-acara diadakan oleh pemerintah justru tak menjamin keseriusan memuliakan hutan.

Indonesia masa Orde Baru bercerita hutan-hutan makin berkurang digantikan perkebunan-perkebunan. Perubahan peran terus terjadi demi raihan uang, bukan menghormati alam dan menjadikan peradaban hijau bertebaran hikmah. Iklan dan buku pelajaran kadang mengelabui ketimbang memberi bekal pertanggungjawaban sepanjang masa.

Di majalah Tempo, 16 Januari 1993, tersaji dua halaman untuk iklan buatan Masyarakat Kehutanan Indonesia dan majalah Tempo. Iklan berkalimat indah: “Hutan kita adalah rumah mereka, warisan ciptaan kebesaran Tuhan.” Kalimat tak mudah dibuat saat biasa terjadi pembakaran hutan atau alih fungsi hutan. Kalimat sangat sulit atau mustahil diwujudkan di Indonesia. Kabar buruk mengenai hutan terus berdatangan. Pembuatan kabar baik tak terdengar dan meragukan.

Satwa-satwa hidup di hutan. Mereka bertumbuh bersama pohon. Kehidupan di hutan itu beragam. Bujukan baik disampaikan melalui iklan: “Dengan melestarikan hutan, lestari pula makhluk-makhluk Tuhan. Dan lengkaplah kemanusiaan kita. Untuk itulah kita menjaga keras sekitar 49 juta hektare hutan untuk menjadi suaka para hewan.” Hutan sekadar kalimat-kalimat tercetak di kertas?

Kita bertemu lagi iklan mewah dua halaman di majalah Tempo, 13 Februari 1993. Iklan dengan rupa dan kata berbeda. Kita melihat tangan menanam pohon. Iklan berjudul: “Ditanam 9 miliar pohon baru.” Hutan berarti khazanah tanaman. Ikhtiar diungkapkan dengan kalimat baik: “Dan saat ini kita telah menanam 9 miliar pohon baru di hamparan lahan kita. Semua bermuara pada tekad: hutan kita harus senantiasa hijau, bumi kita harus selalu biru.” Iklan itu mirip impian, Jumlah pohon ditanam bikin terpukau. Apakah iklan membatalkan dan meralat kerusakan atau kehancuran hutan di Indonesia selama Orde Baru?

Konon, nasib hutan ditentukan kekuasaan. Penentuan memerlukan permainan modal dan kompensasi politik. Kita mengetahui nama-nama pernah menjadi menteri mengurusi hutan dan lingkungan hidup tapi Indonesia bukan negara “terbaik” untuk janji lestari dan hijau.

Pada masa sebelum Soeharto berkuasa, ada usaha pengajaran hutan. Kita membuka buku berjudul Marilah ke Hutan (1962) susunan R Supardi. Buku sederhana, dicetak dengan kertas buram atau murahan. Kita belajar lagi mulai dari hal-hal pokok. Supardi menerangkan: “Jang biasa dinamakan hutan jaitu tempat atau tanah jang bertumbuh-tumbuhan pohon-pohonan, kaju-kajuan atau semak-semak, karena alam, jang tak teratur (liar) tumbuhnja dan merupakan gerombolan hingga mempunjai lingkar jang luas. Hutan jang lebat dinamakan rimba atau rimbu. Semua tumbuh-tumbuhan jang merupakan hutan adalah bertumbuh karena kekuatan alam….” Keterangan masih panjang.

Kita merasa disadarkan dengan masalah-masalah hutan saat mau membaca kepustakaan hutan. Kesadaran terganggu gara-gara mendapat berita atau peredaran foto. Di situ, kita melihat menteri bertugas mengurusi hutan di suatu negara tampak berkumpul bareng teman dan “orang tak dikenal”. Mereka tak berada di hutan. Mereka tak terlihat sedang membaca buku atau rapat. Orang-orang itu sedang bermain dan bercakap. Kita sulit memastikan mereka sedang membuat percakapan bertema hutan.

Kita jangan mengimpikan menteri dan orang-orang berkepentingan dengan hutan membuat foto-foto bertaraf iklan demi pelestarian hutan. Pekerjaan menteri berat, sulit mencari waktu dalam membuat foto dan tebar pesan melalui kata-kata indah. Menteri pun tak wajib sering masuk hutan. Pada suatu hari, kita dapat meminjamkan buku berjudul Mari ke Hutan kepada menteri dan teman-teman.

Buku lawas mungkin kurang menimbulkan ketertarikan dalam belajar hutan. Kita sodorkan saja buku cerita anak. Greenpeace mengadakan buku apik berjudul Kelana ke Hutan Raya. Cerita ditulis Titah Awa dan ilustrasi dibuat Sekar Bestari. Buku bertema hutan, disajikan kepada anak-anak. Pemenuhan kebutuhan cerita diharapkan menimbulkan janji melestarikan hutan di Indonesia. Cerita mungkin berdampak besar ketimbang iklan-iklan boros anggaran tapi klise.

Hutan Terakhir

Pengantar di buku cerita bergambar itu memicu sedih: “Hutan adalah tempat terakhir di dunia di mana siklus kehidupan menunjukkan wujud paling sempurna. Selain menjadi suaka bagi keanekaragaman hayati di dalamnya, hutan yang lestari juga menjadi kunci keberlanjutan peradaban manusia. Sayangnya, alih-alih menghargai kehidupan, korporasi yang ekspansif (terutama sawit dan tambang) hanya mampu melihat kekayaan hutan ketika ia dirusak, dikeruk, dan dimatikan.”

Anak-anak bila paham kalimat-kalimat berat itu bakal marah. Mereka menangisi nasib hutan-hutan di Indonesia. Mereka belum perlu menentukan sikap dan menuntut menteri saat berfoto bareng teman dan orang tak dikenal membikin polemik dibalas klarifikasi dan permintaan maaf. Anak-anak bertumbuhlah dengan cerita untuk memuliakan hutan, bukan sibuk mengikuti acara-acara menteri bertugas mengurus hutan.

Konon, Nusantara itu hutan-hutan. Sejak ratusan tahun lalu, para naturalis berdatangan dan mengukuhkan keilmuan di hutan-hutan. Mereka menjelaskan dan mengisahkan dalam pelbagai bahasa untuk terbaca di dunia. Pengisahan hutan-hutan pun diwariskan merujuk epos dan mitos-mitos.

Nusantara itu hutan pada masa lalu. Kini, kita sekadar diminta mengetahui ada menteri kehutanan dalam kabinet. Masa lalu mengesahkan “keharusan” menteri kehutanan itu bergengsi dalam sumpah kemuliaan Indonesia dan keselamatan Bumi. Begitu.

*) Artikel ini sudah naik di laman Poros Bumi.***

Exit mobile version