
MAKLUMAT — Idulfitri merupakan momentum sakral bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk bagi komunitas santri di pesantren. Sebagai hari kemenangan setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, Idulfitri tidak sekadar dimaknai sebagai perayaan, tetapi juga sebagai refleksi spiritual yang mendalam.

Santri, yang telah mendapatkan pendidikan agama secara intensif di pesantren, memiliki pemaknaan yang unik terhadap Idulfitri, yang tidak hanya terbatas pada aspek ritual, tetapi juga mencakup dimensi sosial, budaya, dan intelektual. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana santri memaknai Idulfitri dalam konteks keagamaan, tradisi pesantren, serta relevansinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi santri, Idulfitri bukan sekadar hari raya yang ditandai dengan shalat Id dan tradisi saling bermaafan. Lebih dari itu, Idulfitri merupakan titik kulminasi dari perjalanan spiritual selama bulan Ramadhan. Dalam pesantren, para santri dibimbing untuk memahami bahwa esensi Idulfitri bukan hanya tentang kembali ke keadaan “suci” dalam arti bebas dari dosa, tetapi juga sebagai momen evaluasi diri.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 30, Allah SWT berfirman:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
Artinya: Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-Rūm [30]:30)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, dan pesantren berperan menjaga serta mengokohkan fitrah tersebut melalui pendidikan yang berbasis nilai-nilai Islam.
Namun, tantangan yang dihadapi pesantren di era modern tidaklah ringan. Digitalisasi dan perubahan gaya hidup masyarakat menuntut pesantren untuk beradaptasi dengan model dakwah yang lebih inklusif. Pemanfaatan media sosial dan teknologi dalam menyebarkan nilai-nilai Islam selama Ramadhan menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Pesantren perlu mengambil peran aktif dalam menyebarkan dakwah yang relevan dengan kondisi umat saat ini, baik melalui konten edukatif di platform digital maupun melalui diskusi interaktif yang menjangkau kalangan muda.
Konsep fitrah dalam Islam dipahami sebagai kondisi kesucian manusia saat pertama kali diciptakan. Dalam perspektif santri, kembali ke fitrah berarti tidak hanya membersihkan diri dari dosa melalui ibadah dan taubat, tetapi juga menumbuhkan kembali sifat-sifat dasar manusia yang mulia, seperti kejujuran, kesabaran, dan kepedulian sosial. Oleh karena itu, Idulfitri bagi santri adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan memperkuat komitmen dalam mengamalkan nilai-nilai Islam secara lebih konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi Pesantren dalam Menyambut Idulfitri
Pesantren memiliki tradisi khas dalam menyambut Idulfitri yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Beberapa pesantren bahkan memiliki aturan khusus mengenai kepulangan santri saat lebaran. Ada pesantren yang membolehkan santri pulang ke kampung halaman, tetapi ada pula yang tetap menjalankan aktivitas keagamaan hingga beberapa hari setelah Idulfitri.
Salah satu tradisi yang masih lestari di beberapa pesantren adalah kegiatan halalbihalal, yaitu ajang silaturahmi dan saling memaafkan antara santri, guru, serta masyarakat sekitar. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai simbol rekonsiliasi spiritual, tetapi juga sebagai bentuk pendidikan moral bahwa persaudaraan Islam harus selalu dijaga, terutama setelah melewati bulan penuh ujian seperti Ramadhan.
Selain itu, santri juga terbiasa dengan kegiatan takbir keliling di lingkungan pesantren, di mana gema takbir dikumandangkan dengan penuh semangat untuk menghidupkan malam Idulfitri. Kegiatan ini memperkuat rasa kebersamaan dan menanamkan semangat perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai Islam.
Idulfitri dan Relevansi Sosial
Santri tidak hanya memahami Idulfitri sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai momentum untuk membangun kembali hubungan sosial yang lebih harmonis. Dalam konteks sosial, Idulfitri menjadi kesempatan untuk mempererat ukhuwah Islamiyah, baik dalam skala keluarga, masyarakat, maupun bangsa.
Dalam realitas sosial, banyak santri yang berasal dari keluarga kurang mampu, tetapi mereka tetap merayakan Idulfitri dengan penuh kesederhanaan. Hal ini mengajarkan nilai zuhud (kesederhanaan) bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari kemewahan materi, tetapi dari ketulusan hati dalam berbagi dan saling memaafkan. Oleh karena itu, semangat berbagi yang diperlihatkan santri melalui zakat fitrah, sedekah, dan kepedulian terhadap sesama menjadi bukti nyata bahwa Idulfitri bukan hanya soal perayaan, tetapi juga momentum berbagi keberkahan.
Selain itu, banyak santri yang setelah kembali ke kampung halaman turut berperan dalam memimpin doa, khutbah, dan kajian keislaman di lingkungan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa santri bukan hanya individu yang belajar agama untuk dirinya sendiri, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial dalam menyebarkan ilmu dan nilai-nilai kebaikan kepada masyarakat luas.
Di era modern, santri menghadapi tantangan dalam mempertahankan makna hakiki Idulfitri di tengah arus globalisasi yang semakin materialistis. Perayaan Idulfitri kini cenderung diidentikkan dengan aspek konsumtif, seperti pakaian baru, makanan berlimpah, serta kemeriahan yang kadang menggeser esensi spiritualnya.
Santri diharapkan mampu memberikan contoh dalam memaknai Idulfitri secara lebih substantif. Mereka harus mampu menginternalisasi nilai-nilai Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar menjadikan Idulfitri sebagai akhir dari perjuangan spiritual, tetapi sebagai awal dari perjalanan baru yang lebih baik. Oleh karena itu, tantangan bagi santri adalah bagaimana tetap mempertahankan keseimbangan antara nilai-nilai tradisional pesantren dan dinamika kehidupan modern tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
Pemaknaan santri terhadap Idulfitri bukan hanya sebatas perayaan, tetapi merupakan refleksi mendalam terhadap perjalanan spiritual selama Ramadhan. Tradisi pesantren dalam menyambut Idulfitri mengajarkan nilai-nilai ukhuwah, kesederhanaan, dan kepedulian sosial yang seharusnya tetap dijaga dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di era modern, tantangan terbesar adalah bagaimana santri tetap mempertahankan esensi spiritual Idulfitri di tengah arus materialisme dan budaya konsumtif.
Oleh karena itu, santri harus terus menjadi agen perubahan yang mampu menyeimbangkan nilai-nilai keislaman dengan realitas sosial, serta menjaga tradisi pesantren agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, Idulfitri tidak hanya menjadi hari kemenangan, tetapi juga menjadi momentum transformasi diri dan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
*) Penulis adalah Direktur Pesantren pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
*) Artikel ini sudah naik di laman Kementerian Agama.***