MAKLUMAT — Wajahnya tenang, tutur katanya runut, dan argumentasinya tegas. Indah Yuliana, S.H., M.Kn., bukan sekadar akademisi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ia juga seorang notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang sehari-hari berjibaku dengan urusan peralihan hak, pengecekan, hingga pembebanan tanah.
Namun bukan itu yang membuat namanya belakangan ini kerap disebut. Di tengah ramainya polemik soal transformasi sertifikat tanah dari bentuk fisik ke elektronik, Indah justru menjadi salah satu suara yang lantang mendukung kebijakan Kementerian ATR/BPN itu. Bukan tanpa alasan. Ia bicara berdasar pengalaman langsung sebagai praktisi di lapangan.
“Bagi saya, sistem sertifikat elektronik justru sangat memudahkan. Lebih cepat, efisien, dan risikonya lebih kecil dibanding sistem manual,” ujarnya lugas dikutip dari laman UMY, Rabu (6/8/2025).
Indah bukan tipe akademisi yang sekadar berteori. Ia paham betul lika-liku pertanahan di Indonesia. Menurutnya, kehadiran aplikasi “Sentuh Tanahku” yang dikembangkan BPN membuat proses administrasi jauh lebih praktis.
“Dulu kalau sertifikat hilang, itu bisa jadi mimpi buruk. Sekarang, cukup buka aplikasi, data tanah kita langsung muncul, lengkap dengan lokasi, luas, bahkan titik koordinatnya,” jelasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa sertifikat elektronik tetap memiliki versi fisik berupa secure paper dengan QR code. QR itu bisa discan untuk memastikan keaslian dokumen sekaligus menelusuri apakah itu versi terakhir atau bukan.
“Ini sangat transparan. Tak ada lagi manipulasi atau sertifikat ganda,” tegasnya.
Indah tahu betul kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan data dan potensi peretasan. Namun ia percaya, sistem yang dibangun BPN sudah melalui proses pengamanan berlapis.
“Risiko human error justru lebih tinggi di sistem manual. Di sistem elektronik, semuanya terdokumentasi dengan rapi dan akurat,” tambahnya.
Namun, Indah juga tak menutup mata soal tantangan. Ia mengakui proses transformasi digital memang butuh waktu dan adaptasi, terutama untuk validasi ulang surat ukur dan buku tanah. Meski begitu, ia optimistis. Kini, pengurusan hak tanggungan yang dulu bisa berminggu-minggu, sudah bisa selesai dalam tiga sampai lima hari.
Biaya Terlalu Mahal
Meski mendukung penuh, Indah tetap kritis. Salah satu catatannya adalah soal biaya konversi dari sertifikat analog ke digital yang dibebankan sebesar Rp150.000. Baginya, angka itu terlalu tinggi untuk program yang bersifat nasional.
“Kalau bisa diturunkan jadi Rp50.000, masyarakat pasti lebih antusias,” ucapnya.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti soal ketimpangan akses digital di berbagai daerah. Ia berharap transformasi ini tidak hanya dipahami oleh masyarakat kota atau kalangan tertentu saja.
“Edukasi harus menjangkau semua lapisan. Infrastruktur digital juga harus merata. Kalau tidak, yang terjadi justru kesenjangan informasi,” pungkasnya.
Indah Yuliana mungkin tidak duduk di kursi pembuat kebijakan. Tapi suaranya, yang berasal dari ruang-ruang notaris dan ruang kelas kampus, cukup keras untuk menyuarakan bahwa transformasi digital pertanahan adalah keniscayaan. Dan ia, siap menjadi bagian dari perubahan itu.***
Comments