
MAKLUMAT — Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk berperan aktif dalam penyelesaian krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar patut diapresiasi. Namun, komitmen tanpa strategi yang konkret hanya akan menjadikan Indonesia kehilangan momentum dan kredibilitasnya sebagai pemimpin regional.

Dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri pada 10 Januari 2025, Menlu Sugiono menegaskan bahwa Indonesia akan mengedepankan kesatuan dan sentralitas ASEAN dalam menangani krisis Myanmar (Kemlu RI, 2025). Pernyataan itu terdengar optimistis, tetapi hingga kini, hasilnya masih minim.
Sejak kudeta militer Myanmar pada 2021, ASEAN berupaya menengahi konflik melalui Konsensus Lima Poin, yang mencakup penghentian kekerasan, dialog inklusif, dan pengiriman utusan khusus ASEAN. Namun, implementasi kebijakan ini gagal total. Junta militer berulang kali mengabaikan kesepakatan tersebut, termasuk menolak memberikan akses kepada utusan ASEAN untuk bertemu pemimpin oposisi (Human Rights Watch, 2024).
Menurut laporan The Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), sejak 2021 hingga awal 2024, lebih dari 7.000 warga sipil tewas, sementara lebih dari 2 juta orang mengungsi akibat kekerasan yang terus meningkat. Ini menegaskan bahwa pendekatan lunak ASEAN tidak efektif dalam menghadapi krisis berkepanjangan ini.
Dinamika ASEAN dan Tantangan Diplomasi
Kegagalan ASEAN dalam menangani Myanmar bukan hanya ancaman bagi stabilitas kawasan, tetapi juga dapat merusak reputasi Indonesia sebagai pemimpin diplomatik di Asia Tenggara.
Ketidakhadiran Menlu Sugiono dalam pertemuan informal ASEAN di Thailand pada 19-20 Desember 2024 semakin memperkuat persepsi bahwa Indonesia tidak memiliki strategi yang jelas dan tegas dalam menyelesaikan konflik Myanmar.
Namun, perlu dipahami bahwa diplomasi di ASEAN tidak semudah sekadar menekan Myanmar. ASEAN memiliki prinsip non-intervensi, yang membuat sanksi atau tindakan keras sulit dilakukan tanpa konsensus penuh. Negara-negara seperti Thailand dan Kamboja memiliki hubungan dekat dengan junta Myanmar dan cenderung menolak pendekatan yang terlalu keras.
Selain itu, Indonesia juga harus mempertimbangkan kepentingan ekonominya. Data dari Kementerian Perdagangan RI (2024) menunjukkan bahwa total perdagangan Indonesia-Myanmar mencapai USD 1,2 miliar pada tahun 2023, dengan ekspor utama berupa minyak kelapa sawit dan produk manufaktur. Jika Indonesia mengambil langkah tegas seperti sanksi ekonomi, ada risiko kerugian ekonomi bagi pelaku usaha domestik.
Strategi Baru untuk Indonesia: Solusi dan Risiko
Jika Indonesia ingin berperan lebih besar dalam penyelesaian krisis Myanmar, ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil. Pertama, Indonesia dapat meningkatkan tekanan diplomatik dengan menggandeng negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang guna memperkuat tekanan internasional terhadap junta Myanmar.
Salah satu caranya adalah membentuk Koalisi ASEAN Plus, yang melibatkan negara-negara seperti India dan Australia untuk memperbesar tekanan politik. Studi dari Bank Dunia (2024) menunjukkan bahwa sanksi dari negara-negara Barat telah menurunkan pendapatan ekspor Myanmar sebesar 25% dalam tiga tahun terakhir, sementara Jepang juga mulai mengurangi bantuan pembangunannya (Nikkei Asia, 2024).
Namun, langkah ini memiliki risiko, terutama jika Myanmar semakin bergantung pada China dan Rusia, yang selama ini menjadi pendukung utama junta. Tanpa strategi lanjutan, tekanan diplomatik bisa berujung pada isolasi total Myanmar tanpa adanya solusi nyata.
Kedua, Indonesia dapat mengusulkan sanksi ekonomi terhadap junta Myanmar dengan mendorong pembatasan perdagangan senjata dan sumber daya strategis. Saat ini, ASEAN masih enggan menerapkan sanksi dengan alasan prinsip non-intervensi.
Namun, Indonesia bisa memprakarsai mekanisme “Smart Sanctions”, yaitu sanksi yang ditargetkan hanya pada elite militer Myanmar, misalnya dengan membekukan aset mereka di bank-bank ASEAN.
Menurut Center for Strategic and International Studies (CSIS, 2023), sanksi yang dilakukan secara kolektif terbukti lebih efektif, seperti yang terjadi dalam tekanan ekonomi terhadap Iran yang memaksa negara tersebut kembali ke meja perundingan nuklir.
Meski demikian, ada risiko bahwa beberapa negara ASEAN, terutama Thailand dan Laos, mungkin akan menolak sanksi karena ketergantungan ekonomi mereka dengan Myanmar. Jika tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas, sanksi juga dapat memperburuk kondisi rakyat Myanmar tanpa benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap junta.
Ketiga, Indonesia dapat membuka jalur diplomasi baru dengan mengusulkan forum “ASEAN Myanmar Dialogue” yang lebih inklusif. Forum ini bisa melibatkan kelompok pro-demokrasi Myanmar, komunitas internasional, dan perwakilan ASEAN di luar pengaruh junta. Pendekatan ini meniru model perundingan “Jakarta Informal Meeting” yang pernah berhasil dalam konflik Kamboja pada 1980-an.
Studi dari International Crisis Group (2024) menunjukkan bahwa dialog yang lebih luas, termasuk dengan diaspora Myanmar, dapat meningkatkan tekanan moral terhadap junta. Namun, tantangannya adalah junta Myanmar mungkin menolak berpartisipasi dalam forum ini jika merasa tidak diuntungkan. Tanpa dukungan kuat dari ASEAN, forum ini bisa kehilangan kredibilitas dan hanya menjadi pertemuan simbolis tanpa hasil konkret.
Dengan strategi yang lebih progresif dan realistis, Indonesia dapat memainkan peran lebih aktif dalam penyelesaian konflik Myanmar. Namun, setiap langkah harus diambil dengan mempertimbangkan risiko dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan dapat memberikan dampak nyata, baik bagi stabilitas kawasan maupun bagi rakyat Myanmar yang terus menderita akibat krisis berkepanjangan.
Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran lebih signifikan dalam menyelesaikan krisis Myanmar, tetapi hal ini memerlukan strategi yang lebih tegas dan fleksibel. Konsensus Lima Poin telah terbukti gagal, sehingga pendekatan baru harus dipertimbangkan.
Jika Indonesia tetap pasif dan hanya mengandalkan mekanisme yang sudah terbukti gagal, bukan tidak mungkin negara ini akan kehilangan kredibilitasnya di mata dunia. Diplomasi setengah hati dalam isu Myanmar hanya akan mencerminkan kelemahan kepemimpinan Indonesia di tingkat global.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina