MAKLUMAT — Muhammadiyah sejak awal berdiri berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, namun tidak sebatas itu. Organisasi ini juga mengusung tajdid yang berarti pemurnian sekaligus pembaruan.
Meski merupakan organisasi keagamaan Islam, Muhammadiyah tidak kaku dalam menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, organisasi yang didirikan Kiai Haji Ahmad Dahlan ini mengambil posisi wasathiyah, berada di tengah-tengah antara pendekatan yang terlalu formal dan yang terlalu jauh dari nilai-nilai agama.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menjelaskan bahwa posisi moderat ini telah menjadi ciri sejak era kepemimpinan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Haedar menegaskan, Muhammadiyah memiliki distingsi yang berbeda dari organisasi keagamaan lain pada masanya dan perbedaan itu perlu terus dirawat.
“Dengan misi dakwah dan tajdid, Muhammadiyah sudah memiliki orientasi untuk menyebarluaskan dan memajukan Islam,” ujar Haedar dalam acara Ideopolitor Muhammadiyah Regional Sumatera 1 di Deli Serdang, Senin (20/1).
Dalam memahami nash atau teks Al Qur’an dan Sunnah, Muhammadiyah tidak bersikap tekstual. Pendekatan yang digunakan adalah Manhaj Tarjih yang dirumuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Pendekatan ini mencakup metode bayani (teks), burhani (konteks), dan irfani (intuisi atau kejernihan hati).
Haedar menekankan bahwa pendekatan tajdid dan metode Manhaj Tarjih inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan Islam lain yang cenderung tekstual dan kaku dalam memahami agama. “Ini menjadi distingsi penting Muhammadiyah dibanding kelompok Islam puritan,” katanya.
Haedar juga mendorong pimpinan persyarikatan untuk mempelajari produk pemikiran Majelis Tarjih, seperti Tafsir At Tanwir yang kini masih dalam proses penyelesaian hingga juz sembilan.
Meskipun menolak pendekatan Islam puritan yang formalistik dan rigid, Haedar juga menolak pandangan sekuler. Ia mencontohkan pandangan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa semua manusia pada dasarnya beragama, sehingga mengajak mereka memeluk agama tertentu dianggap tidak relevan.
“Mungkin Cak Nur saat itu membayangkan dakwah seperti para misionaris yang progresif dan agresif. Namun, kita juga perlu introspeksi karena mubalig kita sering belum menerapkan dakwah bil hikmah dan mauizatil hasanah,” ucapnya.
Dalam konteks lain, Haedar menyoroti penggunaan cadar di Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMA). Menurutnya, Majelis Tarjih sudah menegaskan bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat. Karena itu, ia mengingatkan pentingnya memahami Muhammadiyah secara utuh dan tidak bersikap puritan.