MAKLUMAT — Pertemuan antara 18 gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Selasa (7/10/2025) bukanlah audiensi rutin.
Itu adalah sinyal darurat fiskal. Protes keras para kepala daerah mengenai pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) menandai babak baru. Kebijakan efisiensi di tingkat pusat secara langsung diterjemahkan menjadi potensi krisis di daerah.
Di APBN 2025, alokasi TKD senilai Rp848 triliun. Adapun di APBN 2026, alokasinya turun menjadi Rp 650 triliun, sebelum kemudian dinaikkan Rp43 triliun menjadi Rp693 triliun. Angka Rp693 triliun adalah proyeksi atau outlook jangka menengah dan masih dapat berubah seiring dengan dinamika ekonomi dan kebijakan pemerintah di masa mendatang.
Kendati demikian, angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah representasi dari puskesmas yang batal direnovasi, jalan desa yang tertunda diperbaiki, dan nasib guru honorer yang kian tak menentu. Dalih pemerintah bahwa penurunan TKD diimbangi oleh peningkatan belanja langsung kementerian di daerah adalah alibi birokratis yang rapuh.
Klaim ini dinilai mengabaikan fakta fundamental: sekitar 60–70 persen pemerintah daerah masih menggantungkan hidupnya pada transfer pusat. Di beberapa wilayah, ketergantungan itu bahkan mencapai 90 persen. Saat aliran dana vital ini menyusut, daerah dipaksa mencari jalan pintas.
Di sinilah rakyat dijadikan tumbal.
Konsekuensi dari kebijakan ini bukan lagi teori. Kasus di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu adalah bukti nyata. Ketika dana pusat berkurang, Bupati Pati Sudewo menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen untuk menopang APBD.
Sebuah langkah logis dari perspektif kepala daerah yang terjepit, namun menjadi beban tak tertanggungkan bagi rakyat. Protes massa yang memaksa kebijakan itu dibatalkan adalah cerminan bagaimana efisiensi di pusat berubah menjadi krisis sosial di daerah.
Pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan. Argumen bahwa kenaikan pajak adalah murni keputusan lokal, seperti yang disampaikan Mendagri Tito Karnavian, adalah penyederhanaan masalah. Ini bukan soal dinamika lokal, melainkan soal kegagalan sistemik dalam desain desentralisasi fiskal kita.
Dua dekade setelah reformasi, daerah belum benar-benar mandiri. Mereka lebih sering menjadi pelaksana kebijakan pusat dengan ruang gerak fiskal yang terbatas. Ketika transfer dipotong, opsi paling instan adalah membebani rakyat.
Padahal, pilihan yang lebih berkeadilan sebetulnya tersedia. Ketimbang menjadikan rakyat sebagai korban, pemerintah seharusnya memiliki keberanian politik untuk mengalihkan beban pajak ke arah yang semestinya. Pajak rumah ketiga, pajak kekayaan, dan cukai progresif terhadap kelompok super kaya adalah langkah konkret yang jauh lebih rasional.
Mengutip data Celios yang terserak di rimba dunia maya, optimalisasi instrumen pajak baru bisa menambah penerimaan negara hingga Rp524 triliun per tahun. Angka yang lebih dari cukup untuk menyeimbangkan neraca fiskal tanpa harus “menyandera” pembangunan daerah.
Maka, editorial Maklumat ini jelas: efisiensi yang tidak proporsional adalah bentuk ketidakadilan baru. Pemerintah pusat harus berhenti memperlakukan daerah sebagai pos pengeluaran yang bisa dikurangi sesuka hati. Desentralisasi sejati menuntut kepercayaan dan dukungan, bukan pemangkasan yang pada akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Silakan Menkeu Purbaya berdebat hebat dengan para kepala daerah untuk mencari solusi. Yang terpenting, jangan jadikan rakyat tumbal kebijakan pemotongan TKD. ***