26.7 C
Malang
Selasa, April 1, 2025
Lebaran & MudikJika Janur Kuning Bukan Berarti Ketupat

Jika Janur Kuning Bukan Berarti Ketupat

Ketupat
Ilustrasi janur kuning untuk ketupat. Foto:ChatGPT

MAKLUMAT — Malam satu Syawal. Takbir bersahut-sahutan, bergulung di udara, membelah langit yang seolah ikut bersujud dalam gemuruhnya. Ada haru yang menelusup, ada riang yang menyelinap, ada sesuatu yang sulit didefinisikan: kemenangan, rindu, dan sepi dalam satu tarikan napas panjang.

Janur Kuning
Penulis: Edi Purwanto*

Seperti gelombang yang datang dan pergi, suara takbir menggenapi perjalanan panjang Ramadan. Tetapi di balik gegap gempita, di antara lampu obor takbiran yang berpendar dalam gelap, barangkali sebuah tanya mengendap di benak kita. Apakah janur kuning masih berarti ketupat?

Dulu, janur kuning bukan sekadar hiasan. Ia adalah bahasa. Tangan-tangan ibu dan nenek menganyamnya dengan sabar, membentuk pola yang ruwet tapi kokoh. Dalam setiap lipatan, terselip doa, harapan, dan cerita.

Ia bukan hanya pembungkus nasi, melainkan perwujudan makna: pengakuan akan kesalahan, kebersihan hati, dan keterikatan dengan akar tradisi.

Dalam sejarahnya, ketupat lebih dari sekadar makanan Lebaran. Ia bagian dari kearifan Nusantara, menyerap ajaran Islam, lalu menjelma menjadi tradisi. Sejarawan Agus Sunyoto menyebut bahwa tradisi Lebaran Ketupat berakar dari hadis yang menganjurkan puasa enam hari di bulan Syawal.

Puasa ini menyempurnakan Ramadan, menjadikan ibadah kaffah—utuh. Dari istilah itulah muncul kata ‘kupat’ atau ketupat, simbol penyempurnaan ibadah.

Ketupat punya tafsir sendiri. Ia adalah “ngaku lepat“—pengakuan atas kesalahan. Ia juga “laku papat”—empat tindakan: Lebaran (usainya puasa), Luberan (berbagi rezeki), Leburan (melebur dosa), dan Laburan (memutihkan kembali hati). Semua terangkum dalam anyaman janur yang rumit, seperti kehidupan manusia: saling bertaut, saling berkelindan.

Tapi kini, di zaman serba instan, ketupat lebih sering hadir dalam bentuk plastik atau sekadar gambar di layar ponsel. Tak ada lagi tangan yang repot menganyam, tak ada lagi percakapan santai di serambi rumah sambil membentuk pola-pola rumit dari janur kuning yang harum.

Janur kuning masih ada, tetapi lebih sering menjadi dekorasi pernikahan. Mungkin ini sekadar soal praktis; hidup memang harus beradaptasi. Namun, di balik perubahan itu, ada sesuatu yang terasa hilang, kebersamaan.

Dulu, ketupat bukan hanya makanan. Ia medium silaturahmi. Setelah Idulfitri, orang-orang saling bertukar ketupat, saling mengunjungi, saling memaafkan. Di beberapa daerah, tujuh hari setelah Lebaran, ada tradisi “kupatan”—perayaan yang menegaskan pentingnya menjaga hubungan baik antar sesama.

Kini, permintaan maaf cukup diketik dan dikirim lewat pesan singkat. Tak perlu perjalanan panjang atau mudik ke kampung halaman, tak perlu tatap muka. Segalanya lebih mudah. Tapi apakah cara baru di dunia digital ini lebih bermakna?

Idulfitri bukan hanya tentang merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Ia momentum kembali ke asal. Kata “fitri” bisa bermakna berbuka, tanda selesainya puasa. Tapi ia juga bisa berarti “fitrah”, kesucian yang melebur dosa, seperti bayi yang baru lahir.

Tetapi hari ini, dalam era digital yang serba cepat, kita mulai kehilangan ritual-ritual kecil yang membangun esensi Lebaran itu sendiri. Namun, di tengah perubahan ini, kita masih bisa menemukan makna dalam kemenangan-kemenangan kecil.

Kemenangan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus di bulan Ramadan. Ia hadir dalam bentuk yang lebih sederhana: bangun lebih awal untuk salat tahajud, membaca buku, menulis daftar tugas, berjalan kaki lebih sering, menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Hal-hal kecil ini membentuk diri, memperkuat kebiasaan, dan menjaga momentum menuju tujuan yang lebih besar.

Kemenangan di bulan Syawal ini perlu dirayakan. Bukan dengan pesta besar, tetapi dengan memberi apresiasi pada diri sendiri. Mudik ke kampung halaman. Menonton film favorit bersama keluarga, mendengarkan lagu kesukaan, mencoret tugas dari daftar, atau sekadar berbagi cerita dengan orang terdekat. Karena dari kemenangan-kemenangan kecil itulah, kita membangun perjalanan menuju kemenangan yang lebih hakiki.

Dan pada akhirnya, kemenangan terbesar seorang Muslim adalah mati dalam keadaan husnul khotimah—berakhir dengan baik, dan diterima di sisi-Nya.

Jika janur kuning bukan berarti ketupat, mungkin sudah waktunya kita benar-benar “ngaku lepat“—mengakui kesalahan, menyempurnakan diri, dan kembali kepada fitrah.

Selamat Idulfitri. Selamat berkumpul dengan keluarga. Mohon maaf lahir dan batin.

*) Penulis adalah Wartawan Senior, tinggal di Kota Blitar, Jawa Timur.***

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer