MAKLUMAT — Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH MH, menandaskan pentingnya penguatan green constitution (konstitusi hijau) dalam praktik-praktik ketatanegaraan di Indonesia.
Menurutnya, konstitusi tidak hanya mengatur soal hubungan warga negara dan negara, tetapi juga hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengungkapkan, konsep green constitution yang digagasnya sejak tahun 2009, menempatkan perlindungan lingkungan hidup sebagai bagian yang integral dalam konstitusi, bukan semata soal kebijakan-kebijakan teknis.
Menurutnya, hal tersebut sangat penting, yang kemudian ditunjukkan bahwa sejak MK mulai menerapkan konstitusionalisasi atas prinsip perlindungan lingkungan, terdapat sejumlah undang-undang yang dibatalkan lantaran berpotensi merusak lingkungan hidup.
“Kesadaran global atas lingkungan sudah semakin menguat, termasuk dalam investasi dan perdagangan internasional,” ujar Jimly, saat menyampaikan kuliah umum di Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (14/8/2025) lalu.
“Kita harus menggeser cara pandang dari antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat eksistensi, menuju ekosentrisme, di mana ekosistem lingkungan dipandang memiliki nilai intrinsik, terlepas dari kegunaannya bagi manusia,” sambungnya.
Sebagai informasi, antroposentris merupakan pandangan atau paham yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, termasuk dalam kaitannya dengan alam dan lingkungan hidup. Manusia dianggap sebagai entitas yang paling penting dan memiliki nilai paling tinggi, sedangkan alam hanya sebagai sumber daya yang hanya ada untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia.
Sebaliknya, ekosentris menempatkan nilai intrinsik terhadap seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak, dan bukan hanya pada manusia. Dalam ekosentrisme, lingkungan dan semua makhluk hidup yang ada di dalamnya memiliki nilai yang sama pentingya dan saling terkait.
Lebih lanjut, meski sudah mulai diterapkan, namun Jimly menilai bahwa green constitution di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Termasuk salah satunya adalah benturan antara target pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Menurutnya, dalam praktiknya selama ini, kedua aspek tersebut kerap berbenturan, yang dalam banyak kasus juga berujung pada pengorbanan alam demi pembangunan. Selain itu, ia juga menyoroti masih lemahnya penegakan hukum lingkungan, hingga lemahnya penegakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang membuka peluang terjadinya pelanggaran..
Tak hanya itu, Jimly juga menyinggung soal praktik-praktik kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis lingkungan yang belakangan juga cukup banyak terjadi. Mereka biasanya dijerat melalui pasal-pasal tertentu, seperti Pasal 162 dalam UU Minerba.
Sebab itu, ia menegaskan bahwa perlindungan lingkungan harus menjadi agenda konstitusional, bukan hanya wacana teknis, apalagi sekadar kata-kata atau pidato-pidato yang indah.
“Politik dan ekonomi sering bergandengan untuk mengejar pertumbuhan, sementara aspek lingkungan hidup dikorbankan. Harus ada kekuatan penyeimbang agar kebijakan tidak merusak lingkungan,” sorotnya.
Lebih jauh, Jimly juga mendorong pemanfaatan judicial review (JR) di MK, untuk membatalkan UU yang dinilai bermasalah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.
Hal itu, kata dia, adalah salah satu langkah dan upaya yang bisa dilakukan dalam rangka mewujudkan perlindungan lingkungan yang berkeadilan.
Menjaga lingkungan hidup, menurut Jimly, adalah amanat konstitusi yang wajib dilakukan, demi kelestarian dan keberlangsungan bagi generasi mendatang.